Sidang perdana mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo Dkk di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/RMOL
Istilah 'tamak' yang digunakan jaksa penuntut umum (JPU) KPK di dalam poin memberatkan tuntutan eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) mendapat sorotan dari kalangan akademisi.
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Syarif Saddam Rivanie salah satunya. Syarif menyebut istilah tersebut tidak ada dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya.
"Kata 'tamak' hanya diatur di dalam KBBI," ujarnya kepada wartawan, Senin (1/7).
Selain menyoroti istilah itu, Syarif juga menyebut tuntutan jaksa terhadap SYL seolah-olah tidak menjadikan fakta-fakta di lapangan sebagai pertimbangan.
"Terbukti banyak saksi hanya mendengar saja dari perintah orang, bukan perintah dari SYL langsung," tegasnya.
Padahal, kata Syarif, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
"Harusnya jaksa penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya berdasarkan fakta-fakta yang terjadi, bukan hanya katanya," imbuhnya.
Kritik keras terhadap tuntutan SYL juga disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila Prof. Agus Surono. Agus juga menyebut jaksa KPK mestinya menggunakan terminologi yang sesuai hukum.
Penggunaan istilah dalam naskah tuntutan itu juga harus berdasar fakta-fakta yang ada dalam persidangan.
”Jadi (tuntutan,
Red) tidak didasarkan pada asumsi,” kata Agus Surono saat dihubungi, Minggu (30/6).
Dia menegaskan bahwa istilah tamak tidak ada dalam unsur delik yang didakwakan jaksa terhadap SYL.
Sebagaimana diketahui, SYL dijerat dengan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
”Unsur tamak tidak ada dalam unsur delik yang didakwakan (JPU KPK, Red),” tegasnya.
Agus menambahkan, tuntutan jaksa juga harus sesuai alat bukti di persidangan. Dan harus sesuai dengan peran SYL. Bukti-bukti itu, lanjut Agus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Mulai dari bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Sebagaimana diberitakan, jaksa KPK menuntut hakim Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara kepada SYL. Selain itu, tuntutan yang dibacakan pada Jumat (28/6) itu juga meminta hakim untuk menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp500 juta subsider pidana enam bulan kurungan.
Jaksa menyebut, hal yang memberatkan tuntutan itu adalah karena SYL tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Jaksa juga menyebut tindak pidana korupsi dilakukan terdakwa SYL dengan motif tamak.
Atas tuntutan itu, SYL pun merasa keberatan dan mengaku tidak mengerti dengan istilah yang dimaksud.
”Saya nggak ngerti kata tamak itu. Yang saya coba jelaskan ‘kau pernah dapat perintah langsung dengar dari mulut saya?” ujarnya usai persidangan.