Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen menangani krisis iklim dengan menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), mulai dari NDC Pertama (First NDC), Updated NDC, hingga yang terbaru, Enhanced NDC.
Namun, sejumlah lembaga perwakilan masyarakat menilai bahwa penyusunan dokumen NDC di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan prinsip transparansi dan partisipasi yang inklusif dan bermakna, terutama bagi masyarakat yang terdampak dan pihak-pihak non-pemerintah pusat yang lazim disebut sebagai Non-Party Stakeholders atau NPS.
Dalam momentum penyusunan dokumen Second NDC (SNDC), Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah serius untuk melibatkan kelompok yang paling berisiko terkena dampak perubahan iklim seperti nelayan tradisional, petani, masyarakat adat, perempuan, orang dengan disabilitas, anak-anak dan lansia dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim di Indonesia.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad yang mendukung penuh masyarakat rentan dalam menyuarakan aspirasi mereka dalam Surat Terbuka Lindungi Rakyat Indonesia Hari Ini dan Esok: Pastikan Partisipasi Bermakna dalam Penyusunan Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC).
“Dokumen NDC kedua Indonesia ini seharusnya tidak hanya ambisius, namun juga memuat komitmen yang konkret serta dilakukan melalui proses yang partisipatif, inklusif, dan adil,” kata Nadia dalam keterangannya, Sabtu (29/6).
“Untuk mencapai hal tersebut, dimensi keadilan iklim yang mencakup keadilan distributif, keadilan rekognitif, keadilan prosedural, keadilan restoratif-korektif, dan keadilan gender semestinya secara otomatis dilakukan dan disediakan oleh pemerintah guna pemenuhan hak asasi kepada warga negara sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menilai aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim memberikan dampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Pasalnya, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, gelombang pasang, penurunan muka tanah, dan kebakaran hutan dan lahan telah membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal, memakan banyak korban jiwa, merusak mata pencaharian nelayan, petani, masyarakat adat, bahkan melumpuhkan perekonomian lokal.
“Orang dengan disabilitas, perempuan, anak-anak dan lansia, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, petani kecil, dan nelayan tradisional menanggung beban yang jauh lebih berat karena kurangnya kemampuan dan dukungan bagi mereka untuk bertahan,” kata Torry.
Ketua Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, mengatakan fakta mengenai tahapan penyusunan dokumen NDC masih mendiskriminasi perempuan untuk dapat terlibat secara bermakna di dalam seluruh tahapan perencanaan hingga monitoring adaptasi dan mitigasi iklim di Indonesia.
Lebih lanjut lagi, sambung dia, skema mitigasi masih lebih dikedepankan oleh pemerintah Indonesia, dibandingkan skema adaptasi yang dibutuhkan oleh perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim dan bencana.
“Padahal perempuan memiliki inisiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim di Indonesia. Proyek hilirisasi energi Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang diklaim pemerintah sebagai transisi energi bersih justru menempatkan perempuan pada situasi berlapis akibat masifnya perampasan, penggusuran ruang hidup perempuan, hingga penghilangan pengetahuan dan kearifan lokal yang menciptakan berbagai ketimpangan dan feminisasi pemiskinan struktural bagi perempuan petani, nelayan dan perempuan adat,” jelas Armayanti.
Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia, Farhan Helmy membeberkan bahwa jumlah warga lansia dan difabel di Indonesia sekitar 50 juta orang. Sementara di dunia hampir mendekati 2 miliar orang.
“Sudah sepantasnya mereka terlibat di dalam seluruh proses pengambilan keputusan," ujar Farhan yang juga sekaligus Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
"Proses penyusunan NDC yang kedua tidak menunjukkan adanya keberpihakan pada keadilan iklim bagi warga rentan ini. Prinsip “No One Left Behind” dan “Nothing About Us Without Us” tidak terlihat, dan mungkin juga tidak dipahami dalam merepresentasikannya," tambah dia.
Surat terbuka ini ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang ditandatangani oleh 32 lembaga perwakilan Masyarakat sipil yang banyak bergerak di krisis iklim.
Lembaga-lembaga tersebut adalah 350.org Indonesia, Aksi! for gender, social and ecological justice, Bengkel Advokasi Pemberdayaan. dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Climate Rangers Jakarta, Extinction Rebellion Indonesia, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Koaksi Indonesia dan Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi.
Selanjutnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI), Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Lembaga Transform NTB, Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia, Perkumpulan HuMa Indonesia, Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS), Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP), Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Working Group ICCAs Indonesia (WGII), YAKKUM Emergency Unit (YEU), Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), Yayasan PIKUL