Berita

Sidang mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/Ist

Hukum

Tuntutan terhadap Emirsyah Satar Dinilai Langgar HAM

JUMAT, 28 JUNI 2024 | 15:10 WIB | LAPORAN: WIDODO BOGIARTO

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dalam perkara pengadaan dan kerugian operasional pesawat dinilai melanggar HAM.

Sebab perkara yang sama sebelumnya telah disidang. Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan azas nebis in idem, bahwa perkara yang sama tidak dapat dilakukan persidangan hingga dua kali.

"Dalam perkara genosida saja asas nebis in idem masih berlaku, apalagi perkara korupsi," kata kuasa hukum Emirsyah Satar, Monang Sagala, dalam keterangannya, Jumat (28/6).


JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (27/6) mengajukan tuntutan pidana penjara selama 8 tahun kepada Emirsyah Satar, di samping uang denda dan uang pengganti.

Seluruh fakta tentang pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 & ATR 72-600 dan kerugian operasional pesawat Bombardier CRJ 1000 & ATR 72-600 periode 2012-2014 sudah pernah terungkap dalam penyidikan di KPK tahun 2018 dan sudah pernah diperiksa dan disidang pada tahun 2020-2021.

"Subjek dakwaan sama. Locus Delicti dan Tempus Delicti (tempat dan waktu)nya juga sama," kata Monang.

Dalam sidang tahun 2020-2021, Emirsyah Satar juga sudah dikenakan uang pengganti karena dianggap telah  merugikan keuangan Negara cq Garuda, sebesar 2,1 juta dolar Singapura, di samping uang denda sebesar Rp1 miliar yang telah dibayar.

Bahkan dalam sidang tahun 2020-2021, Pak Emir sudah dikenakan Pasal 65 KUHP tentang perbarengan atau concursus  sehingga seluruh hukuman terhadap Pak Emir terkait peristiwa pengadaan dan kerugian operasional tersebut sudah terserap/absorpsi, tidak boleh dihukum ulang," kata Monang.

Apalagi berdasarkan fakta persidangan terbukti bahwa hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar dakwaan adalah salah hitung.

Diskon (tiket) penumpang yang harusnya menjadi variabel pengurang digunakan menjadi variabel penambah, sehingga otomatis hasil perhitungan BPKP salah total.

BPKP juga terbukti dalam persidangan secara sengaja mengesampingkan fakta bahwa pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 dilakukan untuk mewujudkan Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 jo Perpres Nomor: 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.

"Kami berharap pengadilan sebagai benteng terakhir akan memberikan putusan seadil-adilnya," demikian Monang.



Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya