Berita

Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto/Net

Suara Mahasiswa

Dari Dwifungsi ke Multifungsi dan Profesionalitas TNI

OLEH: RAZIKIN*
SENIN, 24 JUNI 2024 | 17:11 WIB

RENCANA revisi Undang Undang 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menimbulkan perdebatan tentang peran TNI, terutama dalam urusan-urusan sipil menjadi menguat.

Perekrutan anggota TNI oleh Kementerian Perhubungan untuk alih status dari anggota TNI menjadi pegawai negeri sipil, serta dilibatkannya TNI dalam program swasembada pangan oleh Kementerian Pertanian, memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lain-lain merupakan wujud ketidakpercayaan diri elite politisi sipil dalam mewujudkan programnya.

Di sisi lain, menggambarkan bahwa TNI masih menjadi kekuatan penentu dalam menghadirkan kelancaran pelaksanaan program pemerintahan.
 
Merespons kekhawatiran kalangan yang kontra terhadap revisi UU TNI tersebut, Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, menepis keterlibatan TNI dalam urusan-urusan sipil menjadi pembuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI.

Agus Subiyanto menyatakan, TNI sekarang bukan dwifungsi melainkan multifungsi. Dalam konteks itu, pertanyaan yang perlu diketengahkan adalah apa yang dimaksud Panglima Agus Subiyanto dengan multifungsi tersebut, mengingat istilah multifungsi merupakan istilah baru dalam melihat kiprah TNI belakangan ini.

Jika yang dimaksud dengan multifungsi itu adalah penggambaran bahwa TNI memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang apa saja ketika dibutuhkan, mungkin ada benarnya. Karena TNI memiliki organisasi dan sistem pendidikan yang memadai dibanding organisasi sipil, termasuk partai politik.

Multifungsi itu juga sekaligus menggambarkan superioritas keterampilan dan keahlian TNI dibanding kemampuan sipil. Pada titik itu, kecenderungan munculnya prajurit pretorian tak terhindarkan di tengah merosotnya kepercayaan masyarakat akan kemampuan penguasa sipil dalam membangun tata kelola negara secara lebih baik.

Pada saat bersamaan, politisi sipil juga tengah dilanda konflik kepentingan politik kelompok yang bersifat pragmatis jangka pendek.
 
Adanya kecenderungan kalangan militer untuk mengambil bagian dalam urusan politik. Bukanlah hal yang baru, hal ini dapat dilacak dalam sejarah klasik bahwa dalam situasi politik yang tidak stabil, menjadi ruang bagi kalangan militer untuk keterlibatan militer dalam urusan sipil.

Ilmuan politik Amerika, Samuel Huntington menyebutnya sebagai praetorian society, yakni adanya kecenderungan masyarakat memberikan kesempatan kepada pihak militer terlibat menyelesaikan urusan-urusan politik sipil.

Pada konteks itu, masyarakat Indonesia menganggap kelompok militer dapat menjadi pihak yang dapat menyelesaikan berbagai konflik di antara institusi, misalnya antara KPK dengan Polri.
 
Menuju Profesionalitas TNI
 
Di era modern sekarang, menciptakan organisasi militer yang profesional merupakan sesuatu keniscayaan, yakni militer memfokuskan diri pada penjagaan kedaulatan (sovereignty) negaranya dari berbagai ancaman, baik dari luar maupun dalam.

Dalam konteks itu, TNI memiliki tugas pertahanan dan keamanan (hankam). TNI sebagai alat pertahanan negara diharapkan konsisten menjaga NKRI tetap berdiri kokoh sebagaimana yang diproklamirkan oleh founding father kita.
 
Memang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini, terjadinya turbulensi politik kalangan sipil mengharuskan TNI terlibat sebagai pihak penengah dalam menciptakan kondusifitas sosial dan politik, dan tidak jarang terlibat secara lebih jauh dalam urusan-urusan ekonomi.

Hal ini tergambar jelas sejak zaman demokrasi parlementer hingga orde baru. Keterlibatan TNI dalam politik tidak terlepas dari sejarah terbentuknya militer Indonesia.

Sebagaimana Salim Said (1991), selama masa lima tahun revolusi Indonesia (1945-1949) peran militer sangat mencolok. Dengan peranan politiknya militer pada saat itu, maka karakteristik militer adalah adanya dualisme kepemimpinan, yaitu militer dan politik.

Tentara Indonesia mungkin dapat dikategorikan dalam tipologi tentara pretorian revolusioner yang memiliki kecenderungan kuat untuk berpolitik. TNI adalah tentara yang menciptakan diri sendiri (self created army), artinya bahwa mereka tidak diciptakan oleh pemerintah, juga tidak oleh suatu partai politik, melainkan terbentuk, mempersenjatai diri dan mengorganisasi dirinya sendiri.

Menurut Salim Said, hal tersebut terjadi akibat adanya keengganan pemerintah sipil pada waktu itu untuk menciptakan tentara. Pemerintah pusat yang didominasi oleh generasi tua di bawah pimpinan Sukarno, berharap bisa mencapai kemerdekaan secara damai.

Namun, militer Indonesia yang pada saat itu dimotori oleh para pemuda berpendapat lain dengan Sukarno, mereka kemudian berinisiatif untuk mempersenjatai diri dan mendirikan organisasi tentara sendiri, dengan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan tersebut.
 
Sebab lain menurut Salim, yang menyebabkan kuatnya peranan Tentara Indonesia dalam politik adalah gaya Panglima Besar Sudirman, ia berulang kali mengatakan bahwa tentara bukanlah alat mati, tetapi alat hidup.

Disiplin tentara bukanlah disiplin kadaver, melainkan disiplin berjiwa. Sudirman juga tidak pernah menghindari persoalan politik negara, bergaul secara rapat dengan kaum politik, bahkan tidak jarang menjadi penengah dalam konflik antara pemerintah dan pihak oposisi.

Dalam beberapa kesempatan yang lain, AH Nasution juga mengungkapkan bahwa betapa Sudirman selalu bertindak selaras dengan pengertian bahwa tentara adalah alat revolusi dan alat perjuangan, jadi bukan semata-mata alat pemerintah.

Pidato-pidato Sudirman, demikian Nasution, mengupas soal-soal politik dan khusus hubungan dengan Belanda, beliau berusaha menghubungkan ‘pemerintah sayap kiri’ dengan oposisi ‘persatuan perjuangan’. Ia selalu mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan penting dari pihak pemerintah maupun dari pihak oposisi.
 
Samuel Huntington mengajukan setidaknya tiga syarat untuk menciptakan militer yang profesional yakni pertama, expertise, yang dimaknai dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan atau dengan kata lain, militer yang profesionalisme, militer sebagai manager of security dengan melakukan pendekatan human relations dalam tugasnya agar lebih dekat dengan masyarakat, bukan militer seperti yang dikatakan Harold D Lasswell yakni militer sebagai manager of violence.

Kedua, militer harus memiliki sifat responsibility, yaitu memiliki tanggung jawab sosial dan hanya loyal kepada negara, dalam artian militer merupakan suatu organisasi yang tidak mempunyai preferensi (kepribadian) dan keberpihakan kepada siapa pun, kecuali patuh dan taat kepada keamanan dan kelangsungan hidup negara.
 
Ketiga, militer dengan ciri corporateness, sebuah karakter yang biasa disebut esprit de corps, yaitu mempunyai semangat kesatuan yang kuat dan bersumber dari doktrin (dogma) organisasi yang menaunginya, seperti disiplin, taat pada perintah atasan, solidaritas antar anggota, dan mempunyai jiwa kebanggaan menjadi bagian dari militer.
 
Untuk mewujudkan militer seperti yang diajukan oleh Huntington tersebut tidak cukup dengan penghapusan dwifungsi ABRI, perlu ada lompatan besar bagi pemerintah misalnya dengan meningkatkan kesejahteraan prajurit.

Di samping itu elite sipil harus menciptakan situasi politik yang kondusif dan tidak memancing tentara untuk terlibat dalam urusan sipil, sehingga tentara profesional yang diharapkan Panglima Besar Soedirman adalah mempunyai ketabahan hati, setia terhadap bangsa dan negara, dan mampu sebagai pelindung rakyat dan abdi negara dapat terwujud.
 
Sebagai anak bangsa yang ingin melihat tentaranya punya wibawa di mata rakyat dan di mata dunia internasional, saya berharap kepada Panglima Agus Subiyanto tidak tunduk kepada kepentingan politik kelompok tertentu, melainkan tunduk kepada kepada kepentingan negara.

Rakyat sebagai ibu kandung Tentara Nasional Indonesia senantiasa mendambakan keberadaan TNI yang profesional, menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI dari segala ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.

*Mahasiswa Magister Hukum Universitas Gadjah Mada

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

KPK Ngawur Sebut Tiket Jet Pribadi Kaesang Rp90 Juta

Rabu, 18 September 2024 | 14:21

Kaesang Kucing-kucingan Pulang ke Indonesia Naik Singapore Airlines

Rabu, 18 September 2024 | 16:24

Fufufafa Diduga Hina Nabi Muhammad, Pegiat Medsos: Orang Ini Pikirannya Kosong

Rabu, 18 September 2024 | 14:02

Kaesang Bukan Nebeng Private Jet Gang Ye, Tapi Pinjam

Rabu, 18 September 2024 | 03:13

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

UPDATE

Pramono Anung: Jakarta Butuh Pemimpin Pekerja Keras, Bukan Tukang Tebar Pesona

Minggu, 29 September 2024 | 02:07

Jupiter Aerobatic Team Bikin Heboh Pengunjung Semarak Dirgantara 2024

Minggu, 29 September 2024 | 01:53

Pertemuan Prabowo-Megawati Bisa Menguatkan Demokrasi

Minggu, 29 September 2024 | 01:19

Kapolri Lantik Sejumlah Kapolda Sekaligus Kukuhkan 2 Jabatan

Minggu, 29 September 2024 | 00:57

Gen X, Milenial, hingga Gen Z Bikin Komunitas BRO RK Menangkan Ridwan Kamil

Minggu, 29 September 2024 | 00:39

Kecam Pembubaran Paksa Diskusi, Setara Institute: Ruang Sipil Terancam!

Minggu, 29 September 2024 | 00:17

Megawati Nonton “Si Manis Jembatan Merah" Ditemani Hasto dan Prananda

Sabtu, 28 September 2024 | 23:55

Andrew Andika Ditangkap Bersama 5 Temannya

Sabtu, 28 September 2024 | 23:35

Aksi Memukau TNI AU di Semarak Dirgantara 2024

Sabtu, 28 September 2024 | 23:19

Gara-gara Topan, Peternak di Thailand Terpaksa Bunuh 125 Buaya

Sabtu, 28 September 2024 | 23:15

Selengkapnya