KORBAN judi online berjatuhan. Pemerintah wacanakan kasih bansos. Pro kontra. Yang menang, diem-diem aja. Takut diutangin. Beli laptop, bayar uang sekolah, foya-foya, makan di mal. Negara nggak dapet apa pun.
Wacana legalisasi judi direspons mafia Singapura dan Malaysia. Proxy dan agen lokal rilis "haram-weaponary". Mereka nggak mau kehilangan pasar dan cuan.
Kasino luar dipenuhi
player Indonesia. Pengusaha segala bidang. Hobi judi. Milaran sekali main. Pompa Andrenalin. Rutin. Hiburan. Setahun bisa berkali-kali ke sana. Menta
l Entrepreneurship & risk taking nggak pernah padam.
Judi booster sektor lain. Hotel, kuliner, penerbangan, perhiasan, sepatu dan tas
branded,
Entertainment bussiness, rental, dan lain sebagainya. Duit orang Indonesia mengalir ke luar. Menguap di kasino-kasino milik Singapura, Malaysia, dan Makau.
Italiano style mafia, Japanese Yakuza atau Hong Kong Triads nggak eksis di Singapura dan Malaysia. No organized crime group di Singapura. Nggak seperti tahun 1950-1970an. Saking amannya, Common joke Singapore: "The Biggest Gang is PAP”.
Tetapi bos-bos judi, besar-kecil, ada di sana. Pemerintah beri izin terbatas. Outcome-nya besar.
Player-nya ya dari Indonesia.
Malaysia menikmati revenue dari Genting Highland. Kafe-kafe hidup. Roda ekonomi berputar. Banyak ambil band dan penyanyi dari Indonesia.
Arab Saudi segera buka kasino demi meningkatkan cuan dari turis. Lokasinya di Pulau Tiran dan Sanafir di sekitar Laut Merah.
Legalisasi terbatas judi di Indonesia akan menghantam industri judi Singapura, Malaysia, Hongkong dan Asia Tenggara lain. Wajar bila dapat resistensi dari mafia Singapura dan Malaysia.
Faktanya judi bagian dari kehidupan.
Like it or not. Nggak separah narcotics. Dari pertandingan sepak bola sampai pilpres dijadikan ajang taruhan informal.
Nggak bisa diberantas. Yang perlu hanya "pengaturan". Supaya tertib. Putus mata rantai pengutipan ilegal. Jadikan pajak resmi. Jangan rakyat melulu yang diperah oleh agen Neolib Sri Mulyani.
THE END