Usai menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa ke-VIII pada 2024 di Bangka, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan dua keputusan berupa mengharamkan ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam dan larangan mengucapkan selamat hari raya agama lain.
Dari kedua hasil tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Arif Fahrudin menjelaskan bahwa mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi.
Pandangan MUI tentang salam lintas agama menuai respons dari berbagai kalangan, khususnya dalam bingkai pluralitas dan kemajemukan di Indonesia.
Sebagai respons terhadap MUI, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai institusi yang menaungi pemikiran Pancasila menilai terbitnya hasil ijtima’ tersebut bisa berpotensi merusak kemajemukan Indonesia.
Sebab, lanjut BPIP, Indonesia memiliki 714 etnis, keragaman dan kepercayaan. Oleh karena itu, BPIP mengeluarkan rekomendasi yang menyarankan hasil ijtima’ tersebut juga perlu ditafsirkan menggunakan perspektif yang lebih luas.
Terkait itu, pengamat kebijakan yang juga Ketua Kedeputian Organisasi dan Keanggotaan IKABNAS (Ikatan Keluarga Alumni Kebangsaaan Lemhannas RI), Imam Rozikin menilai respons BPIP atas ijtima’ MUI dinilai rasional mengingat perspektif keagamaan menjadi hal yang krusial di Indonesia.
Sebagai sebuah negara majemuk, Rozikin menyebut Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang menempatkan aspek ketuhanan dalam konstitusinya.
“Hal itu secara esensial menandakan bahwa para pembentuk negara ini telah mengelaborasi dan memikirkan nasib bangsa ini ke depannya yang kemudian diformulasikan dalam bentuk konstitusi,” kata Rozikin dalam keterangannya, Kamis (13/6).
Rozikin menilai bahwa perdebatan tentang salam lintas agama ini dapat dilihat pada aspek filosofis toleransi dan dampaknya bagi eksistensi bangsa Indonesia.
Dari aspek filosofis historis, Rozikin merujuk pada kalimat Presiden Pertama RI, Soekarno, yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebelum diproklamirkan sebagai sebuah negara pada dasarnya telah ber-Tuhan.
Dengan kata lain, Rozikin menilai bahwa menjadi sesuatu yang lumrah apabila terdapat pemaknaan yang berbeda atas konsep Tuhan Yang Maha Esa dan bagaimana mengekspresikannya di hadapan sesama manusia.
Namun demikian, pada akhirnya bangsa ini telah final menempatkan konsensus itu ke dalam konstitusi, berupa Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Rozikin menyadari bahwa setiap agama memiliki bentuk toleransi terhadap agama yang berbeda. Namun dia juga menyarankan bahwa setiap agama seyogyanya menempatkan toleransi dalam bingkai yang pas.
Pada konteks kebebasan beragama sendiri, Rozikin menyebut ada dua aspek kebebasan yang terkandung di dalam hak atas kebebasan beragama itu.
“Yang pertama adalah, aspek kebebasan internal atau disebut dengan forum internum, dan yang kedua adalah aspek kebebasan eksternal atau forum eksternum. Yang perlu menjadi pegangan bagi seluruh pemeluk agama di Indonesia adalah forum eksternum, atau bagaimana hak kebebasan beragama itu dimanifestasikan dan diekspresikan pada ruang publik, terlebih yang menyangkut kepentingan umum dan berdampak luas,” jelasnya.
Dirinya menambahkan, toleransi sampai saat ini belum memiliki bentuk final secara definitif. Namun demikian, dia menilai hal itu bukan berarti toleransi tidak memiliki makna yang jelas.
Rozikin mencontohkan, pada Pasal 28J, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, tersiratkan bagaimana sikap warga negara terhadap warga negara lain dalam bingkai kemajemukan di Indonesia.
Berdasarkan pandangan itu, sang kandidat doktor (Rozikin) di kampus ternama tersebut juga melihat bahwa dampak dari pernyataan MUI itu memiliki konsekuensi yang serius bagi keberlangsungan bangsa ini.
“Bisa kita lihat apabila semua pemeluk agama dan penghayat kepercayaan di Indonesia memiliki legitimasi yang sama untuk membuat fatwa tentang apa yang boleh dan tidak boleh diekspresikan di hadapan agama lain, lantas bagaimana kita menempatkan Pancasila sebagai dasar kita berinteraksi dengan komunitas agama dan kepercayaan yang lain? Seharusnya ini menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan juga, sebab, negara kita tercinta ini dibangun dari hasil keringat bersama,” tegas dia.
Lebih lanjut, Rozikin juga mewanti-wanti bahwa pandangan-pandangan yang sekiranya berdampak pada eksistensi Pancasila sebagai dasar negara ini perlu dipikirkan ulang.
“Kita perlu melakukan refleksi-refleksi mendalam terhadap apa yang akan kita sampaikan. Sebab, setiap kebijakan itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada narasi yang menjadi turunan di belakangnya. Jangan sampai kemudian di level kebijakannya bagus, namun secara naratif itu mengandung konsekuensi perpecahan yang pada akhirnya filosofi kebijakan yang tadinya dianggap bagus itu menjadi sia-sia akibat dampak yang ditimbulkan,” jelasnya lagi.
Sebagai penutup, Rozikin menyampaikan bahwa munculnya perdebatan ini menjadikan perlunya pemikiran ulang terhadap toleransi dan perwujudannya dalam bingkai tata pemerintahan di Indonesia.
“Kalau misalnya kita menyepakati salam formal yang netral dan sesuai konstitusi, maka ketika suatu acara menggunakan anggaran negara, silakan pergunakan salam yang sifatnya netral dan tidak memihak. Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang mengakui eksistensi enam agama dan ratusan aliran kepercayaan sebagai sumbu filosofis pengikat kelangsungan bangsa ini,“ pungkasnya.