DALAM kehidupan sehari hari media massa menyajikan beragam informasi,
berita, isu, peristiwa yang terjadi di masyarakat. Perkembangan
teknologi yang memudahkan masyarakat menerima sebuah informasi dengan
cepat menjadikan masyarakat semakin terbuka dengan berbagai macam
informasi.
Agenda media massa yang memberitakan suatu isu peristiwa
informasi dapat berdampak terhadap penentuan kebijakan pemerintah.
Agenda setting menggambarkan kekuatan, pengaruh, media yang sangat
kuat terhadap pembentukkan opini masyarakat karena media memberi
tekanan pada suatu peristiwa maka media dapat mempengaruhi khalayak
untuk mengganggap penting. Agenda setting media mempunyai peranan
dalam penentuan kebijakan pemerintah.
Ketika menjelaskan
terkait dengan agenda
setting maupun agenda politik, penulis mengutip
berbagai konsep dari beberapa tokoh. Pertama, menurut Walgrave dalam
artikelnya berjudul “
The Mass Media’s Political Agenda-Setting Power: A
longitudinal Analysis of Media, Parliament, and Government in Belgium
(1993 to 2000)” menyatakan bahwa agenda politik merupakan daftar
masalah yang menjadi perhatian khusus bagi aktor politik.
Sedangkan
arti agenda
setting Menurut McCombs dan Shaw, “media massa memiliki
kemampuan untuk menggeser agenda berita mereka ke dalam agenda publik”
(Griffin, 2010). Pemahaman ini menjelaskan bahwa media massa memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk cara berpikir masyarakat
yang terpapar informasi.
McCombs dan Shaw lebih lanjut menjelaskan
bahwa media memiliki kemampuan untuk membuat orang menilai sesuatu
yang penting berdasarkan apa yang dikatakan media, dengan kata lain,
kita menghargai apa yang dianggap penting oleh media. Apa yang
disampaikan oleh media massa tentunya berpedoman pada kaidah
jurnalistik yang berlaku, apalagi ada jurnalis di media massa yang
mengolah dan menyampaikan informasi sesuai dengan prinsip
jurnalistiknya. Namun dalam hal ini McCombs dan Shaw menjelaskan bahwa
apa yang diberitakan di media dianggap penting dan harus diperhatikan
oleh masyarakat luas.
Media tidak mempengaruhi pikiran
orang dengan memberi tahu mereka apa yang harus dipikirkan dan ide
atau nilai apa yang mereka miliki, tetapi dengan memberi tahu mereka
masalah dan isu apa yang harus dipikirkan. Masyarakat umum cenderung
memutuskan bahwa apa yang disiarkan melalui media massa benar-benar
layak untuk diketahui masyarakat luas dan dipublikasikan.
Dalam
Agenda Setting, penonjolan isu-isu tertentu oleh media massa tidak
lepas dari proses seleksi media yang melewati sejumlah pintu (
gates),
proses seleksi ini bisa dipegang oleh individu atau sekelompok orang
yang nantinya akan memutuskan berita layak muat, Mereka inilah yang
memainan peran dalam membentuk realitas yang ada di khalayak,
gatekeeper media massa biasanya akan menentukan bobot penyajian isu
berdasarkan besarnya ruang yang disediakan, penonjolan berita (melalui
headline, lokasi penempatan halaman) dan cara isu tersebut dibahas
secara detail atau umum (De George, 1981: 219-220).
Agenda
setting
berangkat dari dua asumsi pokok yakni bahwa media tidak merefeksikan
realitas sepenuhnya, dia hanya menyeleksi dan membentuknya. Kemudian
penonjolan isu oleh media dalam kurun waktu tertentu akan mempengaruhi
publik, dimana publik akan menganggap isu tersebut lebih menonjol
daripada isu yang lain (Weaver, dkk, 1981: 3-4). Roger dan Dearing.
Ketika
media mengatur agenda dengan cara yang tidak seimbang atau
mengutamakan isu-isu tertentu, hal tersebut dapat merugikan proses
demokratisasi. Misalnya, fokus yang terlalu besar pada isu-isu
kontroversial atau personalitas politik dapat mengaburkan substansi
perdebatan politik yang seharusnya didasarkan pada ide dan program.
Penting untuk memastikan bahwa media tidak hanya memprioritaskan
isu-isu yang kontroversial atau sensasional, tetapi juga memberikan
perhatian yang memadai pada isu-isu kebijakan substantif. Seiring
dengan itu, masyarakat perlu mengembangkan kemampuan kritis untuk
menyaring informasi, memahami agenda setting media, dan berpartisipasi
aktif dalam ruang publik.
Karena hanya dengan media ini diantaranya
proses komunikasi politik itu bisa berlangsung. Dalam konteks ini,
bahwa komunikasi politik itu sendiri seperti ibarat darah yang
mengaliri unsur-unsur dalam sistem politik. Sistem politik sendiri,
pada dasarnya menggambarkan suatu proses in put dan out put. Artinya,
berbagai pihak berupaya memasukkan in put nya ke dalam struktur sistem
politik yang terdiri dari komponen supra politik dan infra politik agar
melalui prosesnya dapat melahirkan out put sistem politik.
Komponen
supra politik sendiri berarti unsur-unsur atau pihak-pihak yang tugas
pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan penyelenggaraan negara.
Sementara komponen infra politik berarti pihak-pihak yang tugas pokok
dan fungsinya itu tidak berkaitan langung berhubungan dengan
penyelenggaraan negara.
Media dapat menyuntik informasi
kepada masyarakat tentang isu-isu tertentu, termasuk isu politik.
Dalam hal ini media dapat menyediakan informasi seputar isu politik
dalam bentuk berita politik, yang mana dapat memengaruhi bagaimana
masyarakat ‘melihat’ proses politik yang terjadi. Konsep media dan
politik digunakan karena menjelaskan korelasi antara media dan politik
yang terjadi secara komperhensif.
Penjelasan konsep media dan politik
ini juga membantu dalam menentukan berita yang dipilih untuk menjadi
sumber analisis isi berita. Konsep ini juga digunakan dalam pemilihan
kata kunci untuk mencari data di media sosial karena isu yang
dibicarakan merupakan isu politik.
Tidak hanya media
tradisional yang dapat memberikan pengaruh ke platform media lain
namun internet pun juga dapat memberikan pengaruh ke media lain.
Praktik intermedia agenda-setting juga terjadi pada media dalam
jaringan (networked media). Jürgen Habermas, seorang filsuf dan
sosiolog Jerman, dikenal karena kontribusinya terhadap pemikiran
sosial dan politik. Salah satu konsep sentral dalam karyanya adalah
"ruang publik" atau "öffentlicher Raum" dalam bahasa Jerman. Konsep
ini dikembangkan oleh Habermas dalam bukunya yang terkenal, "
The
Structural Transformation of the Public Sphere" ("
Strukturwandel der
Öffentlichkeit"), yang diterbitkan pada tahun 1962.
Ruang
publik menurut Habermas merujuk pada arena sosial di mana
individu-individu berkumpul untuk berbicara dan berdiskusi mengenai
masalah-masalah publik atau politik. Ini bukan hanya tempat fisik,
tetapi lebih sebagai suatu domain di mana warga dapat berpartisipasi
dalam pertukaran ide dan pandangan tanpa intervensi yang menghambat.
Habermas melihat ruang publik sebagai suatu bentuk forum yang mandiri
dan terbebas dari pengaruh yang merendahkan atau mengintimidasi.
Dalam
"
The Structural Transformation of the Public Sphere," Habermas
menggambarkan perkembangan sejarah ruang publik di Eropa pada abad
ke-18, khususnya di Inggris dan Perancis. Pada masa itu, ruang publik
berkembang sebagai hasil dari munculnya kelas borjuis yang mengadakan
pertemuan di kafe, rumah-rumah pribadi, dan klub-klub diskusi. Ruang
publik ini menjadi tempat di mana orang-orang dari berbagai lapisan
masyarakat dapat berbicara bebas mengenai isu-isu politik dan sosial.
Namun, Habermas juga menyadari bahwa ruang publik dalam bentuknya yang
ideal telah mengalami transformasi seiring waktu. Dia mengkritik
komodifikasi dan birokratisasi ruang publik modern, di mana media massa
dan struktur kekuasaan politik memainkan peran besar dalam membentuk
opini publik. Habermas juga menyoroti bahaya terjadinya "kolonialisasi
dunia kehidupan sehari-hari" oleh kekuatan ekonomi dan politik, yang
dapat merusak integritas ruang publik.
Dalam pemikiran
Habermas, ruang publik yang sehat dan fungsional adalah prasyarat
untuk demokrasi yang efektif. Partisipasi warga dalam pembentukan
opini dan pengambilan keputusan adalah esensial bagi kesehatan
demokrasi. Meskipun ruang publik yang ideal mungkin sulit dicapai
dalam masyarakat modern yang kompleks, konsep ini tetap memberikan
kerangka kerja penting untuk memahami peran kritis yang dimainkan oleh
partisipasi publik dan dialog terbuka dalam masyarakat demokratis.
Habermas
berpendapat bahwa media harus menjadi sarana di mana warga dapat
berdiskusi secara bebas dan rasional untuk mencapai konsensus. Agenda
setting yang terlalu terkonsentrasi dapat menghalangi proses ini,
mengarah pada penurunan kualitas ruang publik. Ketergantungan media
pada kepentingan politik atau ekonomi tertentu juga dapat merusak
prinsip komunikasi yang bebas dan adil yang diinginkan oleh Habermas.
Media yang cenderung fokus pada isu-isu tertentu dapat membatasi
keragaman pandangan dalam ruang publik, mempengaruhi proses
deliberatif. Hal ini dapat mengarah pada homogenisasi opini dan
menurunkan kualitas demokrasi, sebagaimana yang ditekankan oleh
Habermas.
Kritik ini mencerminkan ketidakseimbangan antara
idealitas ruang publik dan realitas praktik media selama periode
pemilu. Seperti yang diketahui bahwa kebanyakan media dikendalikan
penuh oleh pemerintah, ini menjadikan media akan sangat mudah "di
-setting" oleh mereka yang memiliki kuasa, dan memilih isu yang ingin
di tonjolkan, baik itu untuk menjaga nama baik, atau untuk menjatuhkan
sang lawan.
Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi, Pascasarjana Universitas Sahid