Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin/Ist
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang beredar di media sosial bukanlah produk final dari persetujuan DPR dan pemerintah.
Hal itu ditegaskan anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin terkait polemik RUU Penyiaran yang dianggap membungkam kebebasan pers.
"RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI masih dalam proses, jadi belum final,” kata Nurul Arifin kepada wartawan, Selasa (14/5).
Legislator dari Fraksi Golkar ini mengurai, ada beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 yang memberikan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Berikutnya Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,” kata mantan aktris film ini.
Nurul menambahkan terdapat beberapa pokok yang diatur dalam RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau
analog switch-off.RUU Penyiaran ini adalah Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang sebetulnya sudah digulirkan sejak 2012.
"Kita memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital khususnya layanan
Over The Top (OTT) dan
User Generated Content (UGC). Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini,” kata Nurul.