PANCASILA sebagai dasar Indonesia merdeka sudah seharusnya menjadi landasan pendidikan maritim bangsa. Pembangunan budaya dan Sumber Daya Manusia (SDM) maritim yang merupakan pilar pertama pembangunan maritim Indonesia di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memberikan isyarat bahwa bidang ini merupakan fondasi dari sebuah negara maritim yang besar.
Hal ini menjadi jawaban dalam merespons kasus meninggalnya siswa tingkat dasar Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) beberapa waktu lalu akibat dianiaya senior. Peristiwa tersebut sangat menyayat hati semua kalangan. Bagaimana mungkin calon pelaut yang menjadi kebanggaan maritim bangsa melakukan tindakan keji kepada juniornya.
Peristiwa tersebut sangat jauh dari sistem pendidikan nasional yang memiliki korelasi erat upaya membangun manusia Indonesia yang Pancasilais. Ada suatu pola hubungan yang kuat antara filosofi pendidikan yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara dan Pancasila yang ditetapkan Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pembangunan SDM maritim sejatinya tidak bisa hanya dilihat dalam konteks kekinian saja, apalagi hanya dengan mengadopsi sistem budaya dari bangsa asing. Akhirnya corak kekerasan dan individualistis melekat dalam pola pendidikan yang dibangun saat ini.
Pola pendidikan harus melihat secara backward linkage perjalanan bangsa Indonesia selama berabad-abad yang tidak bisa lepas dengan kondisi geografisnya (kepulauan) yang berada di posisi silang (2 benua dan 2 samudera).
Sejarah Maritim Nusantara Perjalanan kemaritiman Nusantara pada masa pra kolonial ditandai dengan masa keemasan dua kerajaan yang disebutkan oleh Bung Karno saat pidato Pancasila 1 Juni 1945 sudah berbentuk Nation State (Negara Bangsa). Secara tersirat, laut sudah didengungkan menjadi alat pemersatu bangsa yang mencakup beberapa pulau dan daerah lainnya.
Dua kerajaan tersebut yakni Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami masa kejayaannya pada abad 7 dan 14 Masehi. Meskipun beberapa sumber menyebutkan, sebelum kedua zaman tersebut, sudah ada beberapa peradaban maritim yang tersohor, terutama yang disebutkan oleh Prof Arysio Santos dalam Buku
Atlantis The Continent Finaly Found. Dalam buku itu disebutkan bahwa Nusantara merupakan Atlantis yang hilang berdasarkan ciri-ciri yang sesuai dengan teori Plato mengenai negeri Atlantis.
Kurang lebih kejadian itu terjadi pada tahun 5000-2000 SM. Dalam kurun waktu tersebut terdapat suatu negeri yang megah dengan peradaban lautnya yang tinggi serta memiliki angkatan perang (laut) yang tangguh. Suatu ketika negeri itu ingin menyerang Yunani namun hancur terlebih dahulu oleh bencana alam. (Santos, 2011: 6).
Banyak pengamat mengaitkan fenomena itu dengan masa Nabi-nabi yang tertulis di dalam Kitab Suci. Hal itu ditandai dengan banyaknya umat-umat yang diazab oleh Tuhan karena membangkang terhadap Rasul-Nya. Hal itu selalu didekatkan dan diidentikan dengan Nusantara.
Dari penelitian Situs Gunung Padang hingga penelitian mengenai Nusantara Negeri Saba yang berawal dari sejarah Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman AS, telah membuktikan bahwa misteri kejayaan Nusantara pada abad sebelum masehi memiliki kaitannya dengan Al Qur’an (Basya, 2012:4).
Namun, terlepas dari polemik tersebut, pembahasan yang dilakukan di artikel ini hanya dalam konteks kemaritiman dan kejayaan negeri dalam bentuk Nation State, di mana disimbolkan oleh Sriwijaya dan Majapahit. Suatu pernyataan yang tersirat dalam pidato Pancasila yang disebutkan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebagai berikut.
“
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami Nationale Staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu, kita tidak mengalami Nationale Staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrooesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan Nationale Staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Ageng Tirtajasa saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu Nationale Staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hassanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan Nationale Staat.
Nationale Staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus didirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu Nationale Staat,” (Sukarno, 1960:3).
Dari kutipan tersebut jelas bahwa kedua kerajaan itu sebagai Nationale Staat (dalam bahasa Belanda) atau Nation State (dalam bahasa Inggris), yang memaknakan negara kebangsaan dan mengikat seluruh pulau, bukan hanya Sumatera, Jawa, atau segelintir pulau, tetapi seluruh kepulauan Indonesia yang disatukan oleh laut.
Konsep Ki Hajar Dewantara Makna yang tersirat dari pidato Bung Karno 1 Juni 1945 ialah bahwa Pancasila merupakan mutumanikam yang sudah terkandung selama ribuan tahun di bumi Nusantara. Lebih dari masa kedua kerajaan tersebut, nilai-nilai Pancasila sudah ada. Sehingga Bung Karno dan para founding fathers lainnya memposisikan diri pada masa itu bukan sebagai penemu Pancasila melainkan hanya penggali.
Dapat diketahui, bahwa nilai Pancasila sudah menjadi filosofi yang hidup dan berkembang secara turun temurun di kalangan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai itu yang kemudian termanifestasi dalam sila-sila di Pancasila dan berfungsi kembali sebagai landasan pendidikan ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk.
Format penanaman nilai-nilai itu yang kemudian mengkristal menjadi suatu sistem pendidikan yang diimplementasikan baik dari keluarga, pendidikan formal (sekolah dan Perguruan Tinggi) hingga masyarakat. Upaya kebudayaan dengan pendidikan itu menurut Ki Hajar Dewantara dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni: Kontinu, Konsentris, dan Konvergen.
Kemudian dalam pelaksanaan pendidikannya dapat dilakukan di berbagai tempat yang oleh Ki Hajar Dewantara diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu: 1) Alam Keluarga, 2) Alam Keguruan, dan 3) Alam Pergerakan Pemuda/Pengabdian Masyarakat.
Ki Hajar Dewantara pun membagi lagi dengan istilah pengajaran yang merupakan salah satu jalan pendidikan, yaitu suatu usaha untuk memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihan dengan maksud memajukan kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan juga konsep-konsep dasar pengajaran meliputi: 1) Teori dasar-ajar, 2) Trisakti jiwa, dan 3) Sistem among.
Sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem pendidikan Taman Siswa, dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya anak-anak, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Oleh karena itu alat ”perintah, paksaan dengan hukuman” yang biasa dipakai dalam pendidikan zaman dahulu, harus diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong anak-anak dalam bertumbuh dan berkembang karena kodrat-iradatnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan sendiri itu serta mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya.
Perintah dan paksaan hanya boleh dilakukan jika anak-anak tidak dapat menggunakan kekuatannya sendiri menghindarkan marabahaya yang akan menimpanya, sedangkan hukuman tak boleh lain dari pada sifatnya kejadian yang sebetulnya harus dialami, sebagai buah atau akibat kesalahannya; hukuman yang demikian itu lalu semata-mata menjadi penebus kesalahan, bukan siksa dari orang lain (Tauchid, 1972:99-101 dalam 50 Tahun Taman siswa).
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang, menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya,
“educate the head, the heart, and the hand”. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria, yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.
Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, dan keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, tanggung jawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, yaitu bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (Natural Law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Singkat kata, pendidikan merupakan perpaduan antara hukum alam (bakat) dan faktor rekayasa (ikhtiar manusia).
Maka, tujuan dari pendidikan untuk mewujudkan manusia yang berbudaya standar, dapat juga diukur dengan muncul dan tumbuhnya karakter kepemimpinan. Di mana dalam konteks tersebut, kepemimpinan merupakan standar nilai kebudayaan yang harus dicapai oleh setiap peserta didik.
Ki Hajar Dewantara menerjemahkan karakter kepemimpinan dengan
Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso dan
Tut Wuri Handayani (pemimpin ialah seseorang yang berada di depan memberikan suri tauladan, di tengah menggerakan semangat dan egaliter serta membangun kehendak, dan di belakang ialah memotivasi atau memberi dorongan bagi orang yang dipimpinnya). Sehingga tugas manusia sebagai pemimpin di muka bumi menjadi terasah dan berkembang guna mewujudkan keseimbangan hidup, serta mampu menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dengan rangkaian tersebut, sudah seharusnya pola pendidikan maritim bangsa yang disimbolkan dalam pola didik STIP yang dulu bernama Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) ini kembali kepada marwah Pancasila dan filosofi Ki Hajar Dewantara. Dalam menanamkan ilmu teknik dasar pelayaran/kemaritiman tidak perlu dengan kekerasan yang akhirnya justru menghasilkan dendam turunan.
Sudah sepatutnya pendidikan vokasi di sekolah-sekolah pelayaran menekankan pola humanis tanpa meninggalkan pendisiplinan bagi anak didik. Tujuannya tidak lain agar para insan pelayaran nantinya dapat menjadi manusia pengabdi demi kejayaan NKRI.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif National Maritime Institute (Namarin), pengamat maritim Indonesia