Dunia pendidikan kembali digemparkan dengan meninggalnya siswa tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Putu Satria Ananta Rustika (19) beberapa waktu lalu.
Kakak tingkat korban bernama Tegar Rafi Sanjaya (TRS) telah ditetapkan tersangka oleh Polres Metro Jakarta Utara usai olah tempat kejadian perkara dan memeriksa 36 orang saksi.
Sepak terjang kampus yang dahulu bernama Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) pun kembali disorot oleh banyak kalangan.
Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menyatakan budaya kekerasan di STIP sulit dihilangkan.
“Kalau boleh dibilang kegagalan, ini adalah suatu kegagalan dalam transformasi pendidikan pelaut. Ini menurut saya agak berat memutus mata rantai (kekerasan) yang sudah berlangsung lama, kecuali sekolahnya ditutup dulu, misal selama 3 tahun atau 5 tahun,” ujar Siswanto dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (6/5).
Menurut dia, masukan dari stakeholder untuk Ketua STIP segera mundur dari jabatannya juga bukan menjadi solusi.
“Itu (memberhentikan jabatan) bukan solusi, solusinya harus diberhentikan sementara,” tegasnya.
Siswanto menyebut jika STIP ditutup, Indonesia tidak akan kekurangan tenaga pelaut. Lanjut dia, jumlah pelaut Indonesia di dunia kerja justru
oversupply.
“Jadi tidak perlu khawatir terhadap kebutuhan pelaut kita. Saat ini justru banyak pelaut kita yang sulit mendapat kerja,” ungkapnya.
Menyinggung adanya alasan pendisiplinan kepada siswa atau taruna pelaut, pengamat maritim yang dikenal kritis ini sangat tidak setuju dengan cara-cara kekerasan.
“Pendisiplinan oke, tapi kan juga tidak dengan cara kekerasan seperti ini. Sudah tidak
relate dengan kondisi zaman sekarang. Apalagi dengan adanya senior dikasih hak asuh, itu sudah tidak relevan,” pungkasnya.