Berita

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat/Repro

Politik

Redistribusi sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan Rakyat Indonesia

RABU, 01 MEI 2024 | 06:47 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Redistribusi merupakan isu sentral bangsa Indonesia. Di mana kita sejak lama telah mengalami kesenjangan sosial berbasis inkom dan kekayaan yang cukup besar.

"Gini Ratio kita selalu mendekati angka 0,4 selama satu dasawarsa lebih belakangan ini. Di akhir era Soeharto, Gini sebesar 0,3; perekonomian lebih merata. Itu dari sisi inkom, setidaknya begitu, meski pengukurannya dilakukan BPS melalui sisi pengeluaran masyarakat," papar Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat, dalam dialog yang digelar bersama Sabang Merauke Circle (SMC) di Hotel Ambhara, Jakarta, Selasa (30/4).

Di sisi lain, lanjut Jumhur, kesenjangan berbasis kemakmuran (wealth gini ratio) lebih parah lagi. Segelintir orang menguasai mayoritas aset strategis maupun produktif.

"Sejumlah 0,02 persen orang/pemilik rekening, menguasai uang 53 persen di bank, sebaliknya hampir seratus juta orang tidak memiliki rekening. Hanya 2 persen pula segelintir manusia menguasai tanah-tanah produktif di Indonesia. Dibandingkan petani yang hanya memiliki rerata 0,2 Ha lahan dan 100 juta orang miskin tidak memiliki rekening di Bank," ungkap Jumhur.

Situasi ini sebenarnya dialami Belanda dahulu kala. Sebagian oligarki Belanda yang mengeruk harta di Indonesia di era kolonial, dengan kendaraan dagang VOC (Vereniging Oostindische Compagnie), menjadi konglomerat di sana.

Dituturkan Jumhur, mereka membentuk kesenjangan sosial yang begitu dalam. Bahkan Gini Ratio based on wealth sampai saat ini diperkirakan mencapai 0,7 atau lebih.

Namun, meski kesenjangan kemakmuran (wealth), Belanda telah berhasil menciptakan sistem negara kesejahteraan, yang membuat Gini rendah, yaitu 0,266, di sisi pendapatan (inkom) rakyatnya. Juga, mobilisasi vertikal semua rakyatnya punya kesempatan yang relatif baik dan sama.

Keberhasilan Belanda ini, menurut Jumhur, tidak lepas dari strategi negara tersebut melakukan redistribusi.

"Redistribusi ini bukan melakukan perampasan properti orang-orang kaya, melainkan memberikan fokus pada peningkatan upah buruh, memberikan fasilitas pendidikan dan kesehatan maksimal pada kaum buruh, mengatur sistem perpajakan regresif dan progresif agar pendapatan setelah pajak lebih merata, serta menggunakan berbagai instrumen negara lainnya untuk kemakmuran bersama," jelasnya

Hal ini, lanjutnya, telah dibahas Thomas Pikketty dalam beberapa bukunya yang memotret perjalanan kesenjangan di Eropa.

Lebih jauh Jumhur menuturkan, organisasi buruh di Eropa dijamin keberadaannya agar posisi tawar buruh berhadapan dengan kaum kapitalis menjadi seimbang. Begitu juga negara membuat statuta upah minimum secara sungguh-sungguh ataupun melalui perundingan upah secara fair.

Hal tersebut telah dilakukan di Belanda, yang juga diterapkan banyak negara Eropa lainnya dalam rangka memastikan adanya kemakmuran yang berkeadilan.

"Redistribusi merupakan sebuah keharusan," tegasnya.

Dalam pandangan Jumhur, Indonesia sebenarnya tidak separah Belanda dalam sisi kesenjangan kemakmuran. Di mana orang-orang kaya di Indonesia tidak ada yang selama ratusan tahun menjadi kaya. Umumnya mereka hanya satu atau dua generasi.

"Dan mereka sebenarnya sangat tergantung pada negara, atau yang dikenal dengan istilah Erzat Kapitalis. Sehingga, seharusnya menata negara dengan isu redistribusi dapat lebih gampang dilakukan," sebut Jumhur.

"Persoalannya adalah, kepemimpinan nasional kita tidak pernah serius memikirkan hal ini. Sehingga semakin lama semakin jauh harapan keadilan sosial di Indonesia. Padahal strategi redistribusi dapat dilakukan melalui, salah satunya, penguatan inkom buruh dan kesejahteraannya serta tentu keluarga mereka. Ini harus benar-benar dilakukan secepatnya, sebelum terlambat," demikian Jumhur.

Dialog yang diikuti 25 tokoh serikat buruh dan 25 orang pemikir kerakyatan bertujuan menghimpun pemikiran tentang perubahan struktural rakyat melalui strategi redistribusi di Indonesia. Hadir sebagai pemain diskusi,
Dr. Burhanuddin Abdullah, Dr. Darwin Saleh, dan Dr. Anton Permana.

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Gegara Israel, World Central Kitchen Hentikan Operasi Kemanusiaan di Gaza

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:08

Indonesia Harus Tiru Australia Larang Anak Akses Medsos

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:58

Gaungkan Semangat Perjuangan, KNRP Gelar Walk for Palestine

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:36

MK Kukuhkan Hak Pelaut Migran dalam UU PPMI

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:18

Jet Tempur Rusia Dikerahkan Gempur Pemberontak Suriah

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:12

Strategi Gerindra Berbuah Manis di Pilkada 2024

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:53

Kubu RK-Suswono Terlalu Remehkan Lawan

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:40

Pasukan Pemberontak Makin Maju, Tentara Suriah Pilih Mundur dari Aleppo

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:30

Dirugikan KPUD, Tim Rido Instruksikan Kader dan Relawan Lapor Bawaslu

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:06

Presiden Prabowo Diminta Bersihkan Oknum Jaksa Nakal

Minggu, 01 Desember 2024 | 07:42

Selengkapnya