Berita

Indra Kusumawardhana/Ist

Publika

Bagaimana Perang Israel-Palestina akan Berakhir?

OLEH: INDRA KUSUMAWARDHANA*
JUMAT, 05 APRIL 2024 | 13:43 WIB

"LOVE is like war; easy to begin but very hard to stop." [H. L. Mencken]

Di tengah upaya internasional menyudahi agresi militer Israel di Gaza, DK PBB pada 25 Maret 2024 berhasil mencapai kesepakatan untuk mengeluarkan resolusi gencatan senjata selama bulan Ramadan.

Resolusi ini merupakan terobosan signifikan terkait konflik Gaza meskipun tanpa dukungan AS yang memilih abstain. Israel melampiaskan kemarahannya pada AS. Hal ini wajar mengingat AS adalah sekutu paling loyal yang selalu membela kepentingan Israel tanpa syarat.   

Walaupun komunitas internasional menyambut baik resolusi DK PBB tersebut, timbul pertanyaan: apakah seruan DK PBB untuk menghentikan peperangan di Gaza akan efektif?

Bahkan Sekjen PBB Antonio Guterres ketika mengunjungi pasien Palestina di rumah sakit di El Arish, Mesir pada 23 Maret 2024 mengakui bahwa PBB tak punya kuasa untuk menghentikan perang di Gaza. Lantas bagaimana perang di Gaza akan berakhir?

Tiga Faktor

Perang selalu terkait dengan politik. Pemikir strategi Prusia abad-19 Karl von Clausewitz mengatakan bahwa “perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain” (war is continuation of politics by other means). Artinya perang dimulai dari politik dan (seharusnya) berakhir pula dengan cara-cara politik.

Sejarah menunjukkan perang berakhir dengan tiga jalan. Pertama, dengan penaklukan atau pendudukan di mana salah satu pihak menang sedangkan pihak lain kalah. Berakhirnya Perang Dunia II sesuai dengan cara ini. Pada waktu itu, tiga negara fasis inisiator Perang Dunia II yakni Jerman, Italia, dan Jepang kalah oleh sekutu. Italia menyerah lebih dulu pada 8 September 1943, disusul Jerman pada 7 dan 9 Mei 1945, dan terakhir Jepang pada 2 September 1945.

Kedua, dengan perundingan dimana kedua pihak bertikai sepakat mengakhiri perang dengan menandatangani perjanjian gencatan senjata. Negosiasi adalah cara paling rasional untuk mengakhiri perang karena kedua pihak saling mencari titik temu dengan menawarkan konsesi. Pihak-pihak yang berseteru bersepakat karena hasil kesepakatan dinilai lebih menguntungkan ketimbang melanjutkan peperangan (Reiter, 2009:18).

Hasil perundingan biasanya bermacam-macam. Umumnya berupa pertukaran tawanan (seperti kasus Perang Irak-Iran 1988) dan perjanjian gencatan senjata (Korea Utara-Korea Selatan 1953 dan konflik Armenia-Azerbaijan 2023). Namun dalam kasus pengakuan kedaulatan (misalnya konflik Indonesia-Belanda semasa revolusi pasca proklamasi 1945), konflik kedua pihak diselesaikan melalui pengakuan kedaulatan di Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

Ketiga, dengan penarikan mundur pasukan salah satu pihak. Perang terjadi karena kedua pihak sepakat untuk saling serang. Apabila salah satu sudah tak lagi ingin melanjutkan peperangan, maka perang otomatis usai.

Hal ini dilakukan karena pihak yang menyudahi peperangan tersebut merasa biaya perang begitu besar sehingga menguras sumber daya nasional. Meskipun tujuan belum tercapai, salah satu pihak memilih mundur dari arena untuk mengurangi biaya perang yang terus membengkak.

Penarikan mundur pasukan pernah dilakukan AS di Irak pada 2011 sejak agresi militer negara itu dalam upaya menumbangkan rezim Saddam Hussein pada 2003. Menurut perhitungan ekonom peraih Nobel Joseph Stiglitz, operasi militer AS di Irak menguras anggaran US$ 3 triliun (Stiglitz and Bilmes, 2010).

Sementara operasi militer AS di Afghanistan di bawah tajuk “perang global melawan terorisme” menelan biaya hingga US$ 2,3 triliun atau US$ 300 juta per hari (Forbes, 2021). Pemerintah AS akhirnya menarik mundur pasukannya dari Afghanistan pada 2021. Menurut kajian Brown University, perang Afghanistan membuat perekonomian AS melemah dengan hilangnya kesempatan berinvestasi di infrastruktur publik dan meningkatnya suku bunga pinjaman (Brown University, 2023).

Tawanan Perang

Lantas bagaimana prospek berakhirnya perang antara Israel dan Palestina? Jika melihat tiga faktor di atas, dua opsi terakhir yakni gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza adalah skenario paling mungkin sebab Hamas tak mungkin akan menyerah pada Israel apabila kalah. Hal itu belum ditambah kenyataan dukungan negara-negara lain terhadap Hamas seperti Iran yang membuat skenario pertama hampir mustahil terjadi.

Walaupun opsi gencatan senjata memungkinkan, namun besar kemungkinan Israel tak akan mengindahkan resolusi DK PBB. Menteri Luar Negeri Israel Katz mengatakan bahwa Israel tidak akan melakukan gencatan senjata dan berkomitmen menghancurkan Hamas sampai semua sandera kembali (Republika, 2024). Kekhawatiran Sekjen PBB Antonio Guterres bahwa PBB tak akan efektif mempengaruhi kebijakan Israel agaknya sesuai kenyataan.

Opsi penarikan mundur bisa saja terjadi apabila Israel merasa perang sudah menguras terlalu banyak biaya. Menurut estimasi Bank Israel, perang berlarut-larut di Gaza sejak November 2023 lalu menyedot anggaran US$ 69 miliar atau setara 13 persen PDB Israel tahun 2024 (Pita, 2024). Namun skenario ini kecil kemungkinan menjadi pilihan kebijakan Israel sebab perekonomian negara itu cukup stabil.

Opsi perundingan damai barangkali bisa ditempuh kedua pihak dengan konsesi pertukaran tawanan. Sebagaimana dikatakan pihak Israel maupun Hamas, pokok persoalan konflik itu adalah soal tawanan perang. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 8.000 orang Palestina yang ditawan Israel. Dalam tempo tiga bulan sejak perang berkobar, Israel telah menawan sedikitnya 1.000 warga Palestina (Norman, 2024). Di lain pihak, Hamas mengklaim menawan lebih dari 200 orang, termasuk tentara Israel.

Pertukaran tawanan kemungkinan besar dapat menjadi solusi paling mungkin untuk menyudahi perang di Gaza. Usulan tentang pertukaran tawanan sebenarnya sudah pernah dilontarkan pihak Hamas. Pihak Israel juga sebetulnya setuju dengan opsi pertukaran tawanan ini. Masalahnya, kedua pihak masih belum menemukan kompromi terkait hal-hal di luar isu tawanan. Misalnya, Hamas meminta gencatan senjata dan Israel menarik mundur pasukannya dari wilayah Gaza. Hal ini membuat perundingan kedua pihak selalu menemui jalan buntu. Terlepas dari itu, jalan perundingan masih terbuka dan perlu difasilitasi oleh dunia internasional untuk mencapai titik temu.

*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional di Universitas Pertamina

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Gegara Israel, World Central Kitchen Hentikan Operasi Kemanusiaan di Gaza

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:08

Indonesia Harus Tiru Australia Larang Anak Akses Medsos

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:58

Gaungkan Semangat Perjuangan, KNRP Gelar Walk for Palestine

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:36

MK Kukuhkan Hak Pelaut Migran dalam UU PPMI

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:18

Jet Tempur Rusia Dikerahkan Gempur Pemberontak Suriah

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:12

Strategi Gerindra Berbuah Manis di Pilkada 2024

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:53

Kubu RK-Suswono Terlalu Remehkan Lawan

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:40

Pasukan Pemberontak Makin Maju, Tentara Suriah Pilih Mundur dari Aleppo

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:30

Dirugikan KPUD, Tim Rido Instruksikan Kader dan Relawan Lapor Bawaslu

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:06

Presiden Prabowo Diminta Bersihkan Oknum Jaksa Nakal

Minggu, 01 Desember 2024 | 07:42

Selengkapnya