Peneliti senior Institut Riset Indonesia (Insis), Dian Permata/Ist
Pemerintah Indonesia harusnya bisa belajar dari perilaku burung woodpecker untuk mengatasi kelangkaan beras agar tidak terus melakukan impor. Bukan malah menyalahkan fenomena alam.
Menurut peneliti senior Institut Riset Indonesia (Insis), Dian Permata, pemerintah tidak bisa secara penuh menyatakan bahwa kelangkaan beras disebabkan oleh El Nino.
"Jika diksi itu digunakan oeh pemerintahan, maka akan menyudutkan kesalahan fenomena alam. Karena pada hakikatnya fenomena alam juga berkaitan dengan ulah manusia itu sendiri. Seperti efek gas rumah kaca yang dihasilkan polusi udara daan seterusnya," kata Dian kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/3).
Bahkan, menurut Dian, jika menyalahkan alam, maka hal tersebut merupakan bentuk kegagalan para teknokrat pemerintah yang gagal menangkap fenomena alam. Sejatinya, fenomena El Nino bisa dibaca dengan ilmu pengetahuan.
"Misalnya, apa saja kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi fenomena alam itu terhadap ketahanan pangan, misalnya kesedian beras," tutur Dian.
Apalagi, kata akademisi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta ini, menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), El Nino bukan hanya terjadi pada tahun ini saja. Di mana, El Nino juga pernah terjadi pada 1962, 1963, 1972, 1982, 1983, 1997, 1998, 2015, dan 2016.
"Jika kita lihat data tahun tersebut, maka ada beberapa tahun yang berhimpitan dengan tahun pelaksanaan pemilu," kata Dian.
"Pertanyaan kritisnya, apakah di tahun itu juga mengalami periodisasi yang sama persis seperti saat ini? Apakah saat itu sudah ada fenomena bansos? Apakah ada catatan lain, apakah pembeli beras pada saat pemilu kemarin pembelinya adalah masyarakat atau korporasi? Data-data inilah yag tidak pernah diungkap," sambungnya
Dian menilai, pemerintah bisa belajar dari perilaku burung woodpecker. Burung jenis tersebut dapat beradaptasi menghadapi musim dingin jauh-jauh hari, dengan cara menyimpan makanan berupa kacang-kacangan di pohon. Cara itu membuat mereka dapat bertahan di musim dingin yang minim makanan.
"Hal serupa dapat dilakukan oleh para teknokrasi pemerintahan. Sebagai negara agraris juga dapat berpikir adaptasi soal El Nino. Misalnya dengan memperluas tanah garapan, memperbaiki saluran air irigasi seperti di daerah Nganjuk Jawa Timur, atau lainya," pungkas Dian.