SEHAT itu emas! Prinsip dasarnya mengacu pada perspektif ala Cartesian, “aku sehat maka aku ada”. Harapan mengenai masyarakat yang kuat dan sejahtera, menjadi mimpi bersama jelang 100 tahun kemerdekaan. Dibungkus dalam diksi yang digadang-gadang sebagai Indonesia Emas 2045.
Titik tekan Indonesia Emas 2045 adalah menjadi negara maju, sekaligus kekuatan ekonomi papan atas, kelas dunia. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi pemain aktif, di tingkat internasional. Lepas dari lilitan negara berpendapatan menengah, meloncat lebih tinggi dengan kekuatan yang dimiliki.
Paparan mengenai Indonesia Emas 2045 ini pula, yang kemudian menjadi dasar argumentasi para aktor yang terlibat dalam kontestasi politik 2024. Targetnya merentang dalam dua dekade mendatang. Meski periode kompetisi berdurasi 5 tahun, hasrat yang dituju melampaui rentang waktu kuasa.
Para pemimpin terpilih berupaya mencapai
legacy, meninggalkan warisan bagi generasi mendatang. Pertanyaan dasarnya, bagaimana strategi Indonesia Emas 2045? Akankah kepemimpinan terpilih, mampu membawa visi-misinya dalam berkontribusi pada cita-cita gemilang itu?
Sebelum beranjak jauh dari dengung Indonesia Emas 2045, yang uraian dasarnya sudah terlihat digagas dan dirancang oleh pemangku kekuasaan. Kita perlu meletakkan dengan benar kerangka pikir mengenai momentum, yang disebut-sebut bisa jadi tidak akan datang dua kali.
Indonesia Emas 2045 bertautan dengan bonus demografi, sebuah istilah lain yang dijelaskan sebagai kondisi surplus jumlah penduduk usia produktif. Dengan begitu karakteristik muda akan mewarnai. Benarkah demikian? Tidak adakah kesempatan yang bisa datang lebih cepat, tanpa harus menunggu?
Kita perlu dengan jelas melihat, bahwa jendela kesempatan adalah akumulasi dari kesiapan atas berbagai tahapan yang telah dilakukan. Dengan begitu, perlu dievaluasi ulang, apakah yang telah tersedia saat ini, serta bagaimana mempergunakannya, untuk mencapai lompatan jauh tersebut.
Prasyarat untuk bisa terbang tinggi dalam mimpi Indonesia Emas 2045, hanya akan terjadi dengan basis pondasi sumberdaya manusia yang mumpuni.
Dalam hal itu, duo sejoli penting dari dimensi manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Tidak bisa ditolak, tidak bisa ditawar. Kapasitas pendidikan kita, termuat dalam komitmen belanja anggaran 20 persen, sementara
mandatory spending kesehatan terhapus dalam UU Omnibus Kesehatan.
Khususnya dibidang kesehatan, bila mengacu pada program kandidat yang unggul dari hasil Pilpres 2024, maka kita akan bertemu dengan skema makan gratis sebagai tawaran untuk mengatasi stunting, maupun upaya perbaikan gizi.
Di samping itu, terdapat rencana pertambahan fakultas kedokteran, untuk mendorong produksi dokter nasional.
Plus ditambah dengan pembangunan rumah sakit, di setiap kabupaten/ kota. Penguatan program semacam BPJS Kesehatan belum detail, normatif dalam konteks efisiensi dan teknologi.
Jelas perlu anggaran jumbo, untuk program kerja dalam kerangka target yang besar itu. Jauh-jauh hari
warning terkait defisit anggaran, disampaikan berbagai kalangan. Terlebih, ketidakmampuan dalam tata kelola sumber anggaran, tidak hanya berpotensi menggagalkan rencana program, bersamaan dengan itu dapat memupus harapan akan
setting Indonesia Emas 2045.
Hal yang tidak kalah penting untuk menjadikan kesejahteraan, sebagai bagian dari milik publik dalam Indonesia Emas 2045, dengan memastikan terselenggaranya prinsip dasar etika, moralitas dan keadilan. Dengan itu, maka penjabaran program akan melindungi seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Di luar aspek teknis, yang bisa disesuaikan secara dinamis dengan kondisi terkait, sesungguhnya terdapat kebutuhan untuk mengisi kekosongan dari
spirit kepemimpinan yang mengedepankan kepentingan publik lebih dari sekadar syahwat berkuasa, untuk tujuan kekuasaan itu sendiri.
Selayaknya publik ditempatkan sebagai fokus dari proses pembangunan, tidak hanya menjadi objek pasif yang diombang-ambing pada saat periode pemilihan politik, tetapi dijadikan sebagai subjek aktif yang ikut terlibat dalam penentuan nasib masa depannya.
Sayangnya, kita perlahan namun terlihat pasti mendegradasi kemampuan publik untuk memiliki kecerdasan literasi politik dengan format stimulus politik uang, membangun relasi patron-klien yang mutlak berangsur menjadi kultus. Bisa jadi karena itu kita semakin menjauh dari slogan Indonesia Emas 2045”.
Sebagaimana Cicero menyebut, “
dalam pikiran yang berantakan, seperti dalam tubuh yang berantakan pula, kesehatan adalah hal yang mustahil”. Kita perlu sehat sejak mulai pikiran, agar keputusan yang akan diambil para pemimpin, benar-benar mewakili kehendak publik.
Pada kehidupan sosial yang semakin sempit ruang bernalar kritis, hampir dipastikan kebijakan hanya akan menguntungkan segelintir pihak. Boleh jadi jadi mimpi Indonesia Emas 2045 membumbung terlalu tinggi, hingga kita tidak mampu lagi menjangkaunya.
Penulis merupakan mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid