pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti/Rep
Munculnya film dokumenter Dirty Vote menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024 lalu dituding banyak pihak menjadi pesanan kepentingan asing untuk mengganggu stabilitas politik nasional.
Namun hal itu dibantah pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti yang menjadi salah satu narasumber dalam film garapan Dandhy Laksono tersebut. Hal itu disampaikan Bivitri dalam acara Kenduri Cinta bertajuk “Mengharukan Allah” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (16/2).
“Dirty vote itu memang mulainya mepet. Total hanya 2 minggu kami bicarakan. Itu semua sukarela. Itu hal-hal yang mungkin bagi manusia-manusia yang rasionya dalam tanda kutip, kalau orang melakukan sesuatu ada pamrih, pasti ada dana asing-aseng dan sebagainya, itu nggak akan masuk logika seperti itu di teman-teman yang sudah lakukan di Dirty Vote,” ucap Bivitri dikutip
Kantor Berita Politik RMOL dari kanal Youtube
CakNun.com, Selasa (20/2).
“Dalam waktu 2 minggu itu, katanya ada tuduhan-tuduhan, katanya ada berapa Euro segala macam, (itu) enggak ada! Teman-teman itu patungan, benar-benar patungan. Bahkan sampai sekarang masih nombok, katanya di sini (Kenduri Cinta), biasa nombok ya, dan kami ini tidak ada yang dibayar,” ungkapnya.
“Mas Dandhy selaku sutradara dan temen-temen crew nggak ada yang dibayar, saya nggak bohong,” tambahnya menegaskan.
Menurut Bivitri, banyaknya pengeluaran dalam proses pembuatan film tersebut untuk menyewa alat. Dia pun menginginkan agar para crew yang merupakan
freelancer dapat menerima bayaran.
“Kami patungan untuk sewa alat dan sewa studio. Ya itu kan, alat-alat enggak murah ya. Kami patungannya untuk itu. Tapi SDM enggak ada yang dibayar,” tegas dia.
Dia pun mengaku banyak pihak yang telah berkontribusi menyukseskan film tersebut.
“Ada temen-temen urunan, ngasihnya enggak uang tapi file. Tekad kami semua adalah tidak ada yang boleh
monetize,” pungkasnya.