Karakteristik mutu dan kesegaran hasil perikanan sangat bergantung terhadap bagaimana teknik penanganan, terlebih proses distribusi hasil perikanan yang cukup panjang. Hal itu mulai dari pelelangan, pengepakan, pengangkutan hingga pengolahan.
Menurut Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir (KPPMPI), Hendra Wiguna, ikan setelah ditangkap penting untuk ditangani dengan baik agar terjaga kualitasnya.
“Hasil perikanan perlu dijaga dengan baik, agar kualitas terjaga sehingga ikan bisa bernilai tinggi dan menyehatkan. Sistem rantai dingin (
cold chain system), menjadi hal penting yang perlu diperhatikan,” terang Hendra kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin malam (29/1)
Lanjut Hendra, rantai dingin bertujuan untuk menjamin keseluruhan proses dari pasca panen (penangkapan), distribusi dan sampai di tangan konsumen dalam kondisi segar. Salah satunya, perlu ada cold storage, untuk memastikan hasil tangkapan terjaga. Terutama di musim ikan, yang mana hasil tangkapan nelayan melimpah.
“Cold Storage, perlu juga didukung oleh mesin lainnya seperti ABF, contact plate, dan sebagainya untuk membekukan produk hasil perikanan. Apabila cold storage sudah dilengkapi dengan mesin-mesin tersebut, maka peranannya akan optimal,” jelasnya.
Saat ini, kebanyakan cold storage berada di sekitaran pelabuhan perikanan. KKP menyebutkan pada 2020, cold storage di Indonesia tercatat sebanyak 1.741 Unit dengan kapasitas total penyimpanan sebesar 2,46 juta ton.
Adapun berdasarkan Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, saat ini di Indonesia ada 689 pelabuhan perikanan. Terbagi berdasarkan 4 jenis (kelas), terdapat 7 Pelabuhan Perikanan terdiri dari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 18 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 42 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 49 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), dan ada 343 pelabuhan perikanan yang belum ditetapkan kelas nya serta dan 251 calon pelabuhan perikanan.
“Meski jumlah cold storage sudah lebih banyak dari jumlah pelabuhan perikanan, bisa jadi tidak semua pelabuhan perikanan memiliki cold storage. Tapi mudah-mudahan sudah dilengkapi dengan pabrik es, sehingga nelayan terbantu,” imbuh Hendra.
“Keberadaan Cold Storage juga perlu menimbang bagaimana hasil tangkapan di daerah tersebut, dan apakah semua kapal nelayan menurunkan hasil tangkapannya ke pelabuhan perikanan,” jelasnya lagi.
Sekarang, menurut Hendra perlu juga untuk membangun cold storage di daerah pegunungan yang jauh dari laut. Sehingga sistem logistik perikanan akan terbangun dengan baik, menjadikan orang pegunungan bisa mengakses ikan laut dengan harga lebih terjangkau dan mutu yang lebih baik.
“Saat ini, orang di pegunungan hanya bisa makan ikan pindang atau ikan asin. Bila cold storage dihadirkan, tentu akan meningkatkan angka konsumsi ikan dan memperbaiki gizi masyarakat yang berada jauh dari laut,” ungkap dia.
Hal itu sejalan dengan target KKP pada 2023, yakni 60 kilogram per kapita. Jadi, tegas Hendra, mendekatkan hasil perikanan ke daerah pegunungan menjadi salah satu upaya mendorong peningkatan Angka Konsumsi Ikan (AKI).
Karena selama ini, sambung dia, masyarakat yang jauh dari laut, konsumsi ikannya cukup rendah. Misalnya pada 2020, Kabupaten Boyolali 18,60 Kg/Kap/tahun, Kabupaten Magelang 18,70 Kg/Kap/tahun, Kota Surakarta 28,51 Kg/Kap/tahun, AKI tiga daerah ini berbeda jauh dengan Kabupaten Pati yang merupakan daerah pesisir dimana AKI nya mencapai 42,94 Kg/Kap/tahun.
Masih kata Hendra, rendahnya AKI di daerah pegunungan dikarenakan beberapa faktor. Mulai dari ketersediaan ikan hingga harga ikan yang masih tergolong mahal bagi mereka ketimbang harga sumber makan lainnya.
Jadi tujuannya cold storage ini agar harga ikan lebih terjangkau dan masyarakat bisa mendapatkan protein lebih baik. Selain itu, hasil tangkapan nelayan tidak hanya berputar-putar di area pesisir yang notabene sangat mudah mendapatkan ikan dan nelayan mendapatkan harga ikan yang lebih stabil.
“Ke depan, bisa didorong terobosan kebijakan dan inovasi layanan rantai dingin berbasis koperasi. Sehingga nelayan kecil memiliki akses terhadap cold storage, kebijakan ini dapat mendorong kemitraan antara koperasi nelayan kecil dengan koperasi petani. Sehingga akan ada transaksi atau tukar menukar bahan pokok sesama koperasi rakyat,” bebernya.
“Hal ini tentu perlu didukung dengan semangat membangun kesejahteraan rakyat, serta langkah-langkah kongkrit demi menekan ketimpangan akses nelayan kecil dan petani,” tutup Hendra.