Presidium Perhimpunan Aktivis 98 (PA 98) Agung Nugroho/Ist
DEBAT cawapres kedua kembali diwarnai dengan lontaran istilah asing. Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka dalam debat kedua tersebut melontarkan istilah greenflation atau green inflation yang merupakan istilah baru dalam ekonomi global yang berhubungan dengan krisis energi.
Namun sayangnya, seperti debat cawapres pertama, Gibran lagi-lagi hanya sebatas melontarkan istilah dan lagi-lagi dalam penjelasannya tidak tepat sama sekali. Hal ini jelas menunjukan bahwa Gibran hanya sebatas menghafal dan tidak memahami sama sekali apa yang dia lempar.
Untuk menutupi ketidakpahamannya itu, karena di luar teks yang
dia hafal maka Gibran melakukan atraksi yang melecehkan lawan debatnya.
Tepat apa yang dikatakan Anies Baswesan setelah usai debat cawapres, di mana Anies mengatakan "jika orang menguasai subtansinya maka dia tidak akan melakukan atraksi tapi menjelaskan secara detail".
Atraksi Gibran yang hanya untuk menutupi ketidakpahamannya dengan apa yang dilempar dalam debat, langsung dijawab oleh Mahfud MD dengan perkataan "Pertanyaan recehan tidak perlu dijawab".
Atraksi Gibran tersebut juga menuai sentimen negatif dari netizen di aplikasi media sosial X. Drone Emprit menganalisa hasil debat cawapres kedua melalui analisa sentimen negatif netizen.
Hasilnya menunjukan angka sentimen negatif terhadap Gibran sangat tinggi yaitu 60%, Mahfud 12%, dan Muhaimin paling kecil sentimen negatifnya yaitu 6%.
Tingginya angka sentimen negatif ini tentu merepotkan tim pemenangan paslon no urut 02 yang harus berkeringat meluruskan dan menjelaskan apa yang dilontarkan Gibran soal
greeflation atau
green inflation itu adalah pertanyaan mahal dan ilmiah, bukan pertanyaan receh yang disebut Mahfud MD.
Bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko, yang kadernya hilang diculik karena melakukan perlawanan terhadap militer penyokong kekuasaan Orde Baru pun ikut mengklarifikasi soal
greenflation yang tidak dijelaskan secara detail oleh Gibran.
Budiman Sudjatmiko dalam satu tayangan video menyatakan "
Greenflation istilah baru dalam ekonomi. Kalau nggak ngerti jangan sebut 'receh'. Greenflation merujuk pada kenaikan harga dan krisis tenaga kerja yang terjadi seiring dengan transisi ramah lingkungan."
Sayangnya Gibran bukan Budiman Sudjatmiko yang mampu menjelaskan
greenflation dengan jelas. Dalam debat cawapres kedua, Gibran hanya mengatakan "
Greenflation itu, kita kasih contoh yang simpel saja. Demo rompi kuning di Prancis. Bahaya sekali, sudah memakan korban. Ini yang harus diantisipasi, jangan sampai terjadi di Indonesia".
Gibran hanya mampu menyebut
greenflation, namun tidak mampu
memberi penjelasan yang komprehensif, justru malah menerangkan soal
green jobs.
Di sini kita bisa melihat bahwa Gibran juga tidak memahami secara subtansi apa yang dimaksud dengan
greenflation. Pada dasarnya, greenflation sendiri merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya dan tingginya biaya pengolahan bahan baku menjadi energi hijau, namun pasokannya tak mencukupi. Sehingga terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu.
Mengadaptasi metode produksi dengan teknologi rendah karbon yang mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca. Di satu sisi memerlukan investasi besar dan mahal yang akan meningkatkan biaya marjinal setiap unit yang diproduksi dalam jangka pendek dan di sisi lain, penggunaan energi dari bahan yang lebih langka dan karena itu lebih mahal.
Hal ini akan menciptakan tekanan ke atas pada harga. Namun, transisi energi tidak selalu menimbulkan inflasi atau
greenflation. Ada salah satu paper dari European Bank yang membahas mengenai hal itu. Di paper itu dijawab tidak selalu demikian (transisi energi menimbulkan inflasi).
Mengenai demo rompi kuning di Prancis pun Gibran tidak memahami demo tersebut. Demo yang terjadi pada 17 November 2018 tersebut bukan dipicu oleh greenflation tapi dipicu oleh sistem pajak yang memberatkan, dan tidak sepadan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kenaikan tersebut terjadi karena Pemerintah Prancis menaikan pajak bahan bakar hingga 0.029 Euro per liter. Menurut Presiden Emmanuel Macron, Prancis perlu melakukan reformasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dengan menaikan pajaknya.
Kondisi ini malah justru menyebabkan inflasi dan memicu kenaikan biaya hidup masyarakat secara signifikan.
Penulis adalah Presidium Perhimpunan Aktivis 98 (PA 98)