Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, melayani pertanyaan wartawan/RMOL
Isu pemakzulan Presiden Joko Widodo jelang Pilpres 2024 menguat, pasca merebaknya dugaan manipulasi politik yang digerakkan Jokowi melalui aparatur sipil negara (ASN).
Menanggapi itu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, berpendapat, memakzulkan kepala negara memiliki syarat yang tidak mudah, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Namun Hasto menilai pemakzulan bisa saja terjadi, jika masyarakat menilai presiden telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi.
"Jadi ada syarat sistem. Ketika presiden melanggar konstitusi, maka muncul gerakan," kata Hasto, saat ditemui di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Minggu (14/1).
Menurutnya, wacana pemakzulan harus dijadikan peringatan oleh Presiden Joko Widodo.
"Seharusnya menjadi otokritik bagi presiden, agar di akhir masa jabatan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, Pemilu berjalan demokratis, agar rakyat bisa menyampaikan hak politiknya dengan bebas tanpa intimidasi," katanya.
Hasto menilai ada dugaan pelanggaran dilakukan Jokowi, hingga rakyat bergerak untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang mulai dianggap tidak benar.
"Inilah civil society, karena majunya Mas Gibran dipersepsi sebagai manipulasi konstitusi, di tingkat implementasi, di lapangan, maka menjadi sulit dibedakan kapan Pak Jokowi sebagai presiden, kapan sebagai ayah Gibran," katanya.
"Ini yang menimbulkan persoalan di dalam implementasi di lapangan," sambungnya.
Ditanya apakah PDIP memandang Jokowi telah melanggar konstitusi dengan mendorong Gibran sebagai Cawapres Prabowo, Hasto menjawabnya normatif.
"Yang menilai nanti proses di DPR, MPR, dan didalam MPR itu ada DPD juga," demikian Hasto.