Kemajuan Sumatera Selatan tidak terlepas dari peran penting keberadaan PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) sejak pertama kali beroperasi tahun 1959 silam. Sejarah panjang itu, menyimpan segudang prestasi, sekaligus masalah dan kontroversi.
Menilik dari sejarah, keberadaan Pusri bersinggungan dengan sejarah Kota Palembang. Sekitar tahun 1552, tepian Sungai Musi berdiri Keraton Kuto Gawang yang didirikan oleh Ki Gede ing Suro. Keraton inilah yang menjadi cikal bakal Kota Palembang.
Pengamat Sejarah Kota Palembang, Kemas Andi Syarifuddin mengungkapkan, benteng di keraton berbentuk persegi dengan panjang 1.100 meter dan lebar 1.100 meter. Tingginya mencapai 7,25 meter dan terbuat dari bahan kayu tembesu serta unglen berbentuk balok berujuran 30 x 30 cm.
Dari berbagai literatur diketahui, pintu utamanya menghadap Sungai Rengas. Bagian halaman depan terdapat lapangan luas yang dipagar. Ada anjungan atau buluarti yang terbuat dari batu. Terdapat juga pintu lain di samping kiri kanan dan belakang. Komplek keraton terdapat istana raja, masjid, dan menaranya.
“Benteng Kuto Gawang ini dikenal kuat dan teruji di berbagai pertempuran. Seperti saat perang melawan kerajaan Banten 1596-1606. Lalu, perang melawan VOC Belanda,1659,” kata Kemas dikutip dari
Kantor Berita RMOLSumsel, Selasa (2/1).
Peperangan melawan VOC Belanda pada tahun 1659 itu dipimpin oleh Pangeran Sido Ing Rejek, raja terakhir di era Keraton Kuto Gawang. Peperangan inilah yang disebut menjadi akhir dari kemegahan komplek keraton itu. Sebagian besar bangunan rusak dan terbakar.
“Pangeran Sido Ing Rejek sendiri bahkan harus mundur hingga ke dusun Sakatiga Indralaya. Dia pun mangkat di dusun tersebut. Mungkin ini satu-satunya keraton di nusantara yang mengalami nasib tragis dalam perlawanan melawan penjajah,” terangnya.
Ilustrasi sejarah ini dipertegas lewat penelitian dan penelusuran gambar bersejarah oleh sejarawan Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr Dedi Irwanto yang mengungkapkan bahwa lokasi Keraton Kuto Gawang tersebut berada di kawasan Sungai Buah.
Bahkan menurutnya, beberapa peneliti barat meyakini kalau Keraton Kuto Gawang itu berdiri di atas lokasi bekas Keraton Kedatuan Sriwijaya. Hal itu dibuktikan dengan berbagai penemuan artefak saat pembangunan kompleks pabrik PT Pusri.
“Tapi, ke mana artefak yang ditemukan itu juga kondisinya tidak jelas. Kemungkinan artefak itu ditanam lagi. Sebab, tidak ada berita atau informasi yang menyebutkan penyerahannya ke Museum Nasional ataupun museum di Sumsel,” kata Dedi.
Sungai Buah, saat ini merupakan wilayah yang berada di Kecamatan Ilir Timur II Palembang. Lokasi kawasan ini berada bersebelahan dengan Pusri. Di lokasi ini, berdiri pula sejumlah pabrik dan usaha besar.
Fakta sejarah inilah yang kemudian mengungkapkan kemungkinan bahwa Pusri berdiri di atas bangunan kejayaan Keraton Kuto Gawang. Kemungkinan ini bertambah besar setelah banyaknya penemuan arkeologis maupun makam para raja yang berada di dekat kawasan pabrik.
Pasca serangan terhadap Keraton Kuto Gawang oleh VOC, masyarakat Palembang yang tinggal di sekitar Keraton rata-rata memilih pindah ke uluan Palembang, termasuk pembesar Palembang saat itu. Karena telah ditinggalkan masyarakat, kawasan tersebut cenderung sepi penduduk. Hal inilah yang diduga mendasari pemilihan lokasi untuk pembangunan Pusri.
Barulah ketika pabrik berdiri, masyarakat mulai banyak yang berpindah ke areal tersebut.
“Selain itu, karena pembangunan pabrik ini termasuk proyek sentral pemerintah untuk kepentingan ekonomi secara nasional, sehingga membuat masyarakat dan tokoh sejarah di Palembang saat itu tidak melakukan protes,” ucapnya.
Berbagai catatan sejarah serta literasi yang menyebutkan lokasi Keraton Kerajaan Palembang dan Kedatuan Sriwijaya berada di areal PT Pusri perlu disikapi oleh pemerintah. Sebab selama ini, klaim Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya terasa kosong lantaran tidak ditemukannya tanda lokasi istana.
Petunjuk soal lokasi Keraton Kerajaan Palembang dan Kedatuan Sriwijaya itu mengarah ke pabrik PT Pusri. Artinya, untuk pembuktian harus ada penggalian di kawasan pabrik PT Pusri guna mencari jejak atau bekas bangunan. Sehingga, perlu dilakukan kajian pemindahan pabrik.
“Seharusnya ada kebijakan pusat untuk mempertahankan nilai sejarah dan melestarikan tempat-tempat bersejarah seperti ini. Memang lebih baik dari sisi pengangkutan PT Pusri bisa dipindahkan ke Tanjung Api-Api,” kata Dedi.
Hal senada juga disampaikan oleh Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja. Menurutnya pendidikan dan pelestarian sejarah menjadi sangat penting bagi generasi muda saat ini. Terkait Pusri, tentu akan menjadi nilai lebih untuk menjejak sejarah Keraton Kuto Gawang.
"Kalau ini dibuka sebagian tentu akan menjadi objek wisata menarik di Palembang, kami tentu berharap begitu dengan pihak PT Pusri," kata Fauwaz.
Di sisi lain, akses untuk masyarakat masuk ke kawasan Pusri memang cukup tertutup. Tidak hanya karena merupakan wilayah operasional, tetapi juga terdapat perkantoran.
Lantas Bagaimana Solusinya? Berdasarkan keterangan yang dimuat dalam situs resmi perusahaan, Pusri mengambil nama "Sriwidjaja" untuk mengabadikan kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan, yang sangat disegani di Asia Tenggara hingga daratan Cina pada abad ketujuh Masehi.
Tonggak penting dalam sejarah berdirinya Pusri adalah pembangunan Pabrik Pusri I pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian mulai berproduksi pada tahun 1963 dengan kapasitas terpasang 100 ribu ton urea dan 59.400 ton amoniak per tahun. Peresmian Pabrik Pusri I dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh pada 14 Juli 1964.
Untuk menjawab meningkatnya kebutuhan pupuk, Pusri melakukan ekspansi selama periode 1972-1977 dengan membangun Pabrik Pusri II, Pusri III, dan Pusri IV. Pabrik Pusri II, setelah optimalisasi pada tahun 1972, memiliki kapasitas terpasang 552 ribu ton urea per tahun.
Pabrik Pusri III dibangun pada tahun 1976 dengan kapasitas terpasang 570.000 ton per tahun, diikuti oleh Pabrik Pusri IV pada tahun 1977 dengan kapasitas serupa.
Sejak tahun 1979, Pusri mendapat tugas dari pemerintah untuk mendistribusikan dan memasarkan pupuk bersubsidi kepada petani sebagai bentuk pelaksanaan
Public Service Obligation (PSO) untuk mendukung program pangan nasional di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1993, sebagai upaya peremajaan, Pusri membangun Pabrik Pusri IB dengan kapasitas 570 ribu ton per tahun, menggantikan Pabrik Pusri I yang dihentikan operasinya karena usia dan tingkat efisiensi yang menurun.
Pada tahun 1997, Pusri ditunjuk sebagai induk perusahaan yang mengawasi empat BUMN di bidang industri pupuk dan petrokimia, serta satu BUMN di bidang
Engineering, Procurement & Construction (EPC).
Tahun 2010 menjadi momentum penting dengan pemisahan (
Spin Off
Terbaru, perusahaan terus meningkatkan kapasitas produksinya dengan pembangunan Pabrik III B di lahan 8 hektare di areal pabrik. Kapasitas produksi Pabrik Pusri IIIB direncanakan mencapai 1.350 ton amonia per hari atau 445.500 ton per tahun, serta 2.750 ton pupuk urea per hari atau 907.500 ton per tahun.
Isu lingkungan dan sosial merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Pusri di sepanjang perjalanannya. Apalagi saat ini Pusri telah dikepung oleh pemukiman masyarakat. Berbagai masalah seperti limbah dan bau amoniak yang dihasilkan sehingga mencemari udara, perlu mendapat penanganan segera.
Diantara solusi yang muncul adalah pemindahan pabrik. Hal ini menurut sejarawan Unsri Dedi Irwanto menjadi solusi terhadap keluhan warga.
“Tanjung Api-Api menjadi lokasi yang cocok karena dekat dengan laut sehingga pengangkutan menggunakan kapal-kapal besar bisa dilakukan,” bebernya.
Pemindahan pabrik juga turut disuarakan oleh sejumlah aktivis lingkungan di Kota Palembang. Aktivis lebih memperhatikan dampak lingkungan dari operasional pabrik pupuk terbesar di Indonesia itu. Belum lagi potensi kebocoran gas amoniak yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Dalam catatan, setidaknya ada beberapa kali insiden kebakaran maupun kebocoran tangki gas amoniak di lingkungan pabrik Pusri. Seperti pada September 2000, sedikitnya 28 orang mengalami keracunan gas amoniak yang berasal dari bocornya tabung amoniak PT Pusri.
Lalu, pada April 2018, tangki gas kebocoran amonia cair dari tangki truk yang disebabkan karena patahnya BV akibat terkait dahan pohon. Dimana akibat kejadian itu, tiga orang, yakni sopir, kernet dan petugas patroli harus dievakuasi dari lokasi kebocoran.
Kemudian, bulan November di tahun yang sama, puluhan warga Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang dilarikan rumah sakit karena mengalami muntah dan pusing setelah terpapar gas amonia yang berasal dari pabrik Pusri. Termasuk juga isu mengenai pipa pembuangan limbah siluman yang mengarah langsung ke Sungai Musi.
Pusri mungkin telah berupaya maksimal menjawab isu ini lewat berbagai program yang dilakukan oleh perusahaan. Akan tetapi, seolah tak cukup, kejadian demi kejadian terus berulang. Terbaru, pada Agustus 2023, kebakaran terjadi di areal pabrik PT Pusri, tepatnya pada bagian belt conveyor pengangkut batubara untuk STG.
Dapat Desakan dari Aktivis Lingkungan dan Masyarakat Sipil
Berbagai rangkaian kejadian tersebut membuat sejumlah aktivis mendesak agar pemerintah pusat maupun manajemen Pusri sudah harus memikirkan rencana pemindahan lokasi pabrik.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Yuliusman mengatakan, secara prinsip, pihaknya menolak keras pembangunan pabrik baru yang ada di sana. Dia mengatakan, operasional Pusri yang ada sekarang ini saja sudah cukup meresahkan masyarakat dengan berbagai polusi yang ditimbulkan.
“Jika ditambah pabrik baru, maka potensi kerusakan lingkungan akan semakin besar dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi ikut mendapatkan dampaknya,” kata Yuliusman.
Dia juga mengkritisi, rencana pembangunan pabrik baru yang dinilai kurang melibatkan partisipasi publik. Seharusnya, mulai dari sisi perencanaan hingga pembangunan, publik melalui berbagai lembaga bisa dilibatkan. Sehingga, informasi mengenai kelayakan proyek bisa didapat secara utuh.
Pusri yang akan membangun pabrik baru III B dengan kapasitas produksi amoniak sebanyak 445.500 ton per tahun dan 907.500 ton per tahun yang menurut Yuliusman akan membuat potensi kerusakan lingkungan semakin besar.
“Masyarakat tentu perlu tahu persoalan lingkungan yang akan mereka hadapi ke depan ketika pembangunan pabrik mulai dilakukan. Jadi informasi yang disampaikan bukan hanya dari dampak ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, produksi urea dan keuntungan perusahaan saja,” bebernya.
Menurut Yuliusman, pabrik Pusri serta pabrik perusahaan lainnya yang berada di sepanjang bantaran Sungai Musi sudah tidak layak lagi didirikan. Apalagi dekat dengan pemukiman. Pabrik-pabrik ini setiap tahun secara terus menerus memberikan polusi baik udara maupun dalam bentuk cair.
“Berpuluh tahun dihirup oleh masyarakat. Belum lagi buangan ‘limbah siluman’ yang tidak jelas IPAL-nya dimana yang membuat banyak habitat di Sungai Musi mati karena pencemaran,” terangnya.
Bukan tidak mungkin, sambung Yuliusman, berbagai kejadian kebocoran kedepannya akan kembali terjadi. Entah disebabkan kelalaian manusia ataupun usangnya alat produksi.
“Ibarat bom waktu, hal seperti ini sewaktu-waktu bisa terjadi. Jangan sampai ketika ada korban, baru ada tindakan,” tegasnya.
Senada, Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi Iqbal mengatakan, Pusri seharusnya sudah memikirkan rencana untuk relokasi pabrik untuk operasional jangka panjang. Jangan pabrik yang ada sekarang semakin diperluas.
“Kondisi pabrik yang ada sekarang sudah sangat dekat dengan pemukiman. Sehingga, butuh relokasi ke lokasi yang lebih sepi,” tuturnya.
Rahmat mengatakan, pabrik PT Pusri yang ada saat ini secara ekonomi tentu memberikan dampak yang besar bagi Kota Palembang. Baik dari sisi PAD maupun lainnya.
“Hanya saja, jangan sampai mengorbankan masyarakat sekitar dengan alasan ekonomi. Kalau alasannya ekonomi, pemindahan lokasi pabrik juga kan akan membuat pembangunan lebih merata. Artinya juga berdampak ke ekonomi, Harusnya ini juga jadi pertimbangan,” ucapnya.
Menurut Rahmat, dampak dari limbah amoniak mungkin tidak secara langsung dirasakan masyarakat pada saat ini. “Efeknya terhadap kesehatan itu jangka panjang. Nah, kita tidak ingin masyarakat yang dikorbankan,” tandasnya.
Dukungan untuk pemindahan pabrik ini juga muncul dari wakil rakyat, salah satunya dari Ketua Komisi III DPRD Sumsel, M Yansuri. Dia akan sangat mendukung apabila pembangunan pabrik baru Pusri bisa dilakukan di lokasi lain, seperti misalnya di kawasan Tanjung Api Api.
Sebab, diakuinya pula bahwa kawasan di sepanjang alur Sungai Musi termasuk areal Pusri merupakan pusat peradaban masa lalu, yang perlu dilestarikan.
“Kalau pabrik yang lama, perkantoran dan lain-lain biarkan di Pusri lama, karena di ring satu itu orang tidak repot. Tapi kalau pemindahan, memang perlu dikaji tepat atau tidak dilakukan. Sebab, ada sektor ekonomi yang berputar. Ada tenaga kerja yang bergantung hidup disana saat ini,” terangnya.
Saat ini, redaksi masih berusaha mengonfirmasi dan mengklarifikasi manajemen Pusri. Tim juga telah bersurat untuk mewawancarai Dirut Pusri namun belum mendapatkan jawaban.