BEREDAR di media sosial (medsos) mengenai tiga king maker di belakang tiga pasangan capres-cawapres 2024.
King maker itu adalah Surya Paloh untuk paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Lalu Joko Widodo untuk paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Megawati Soekarnoputri untuk paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Ini untuk memudahkan pemilih menentukan pilihan dalam pemilu nanti. Pertanyaannya, apakah ketiga
king maker itu bakal steril (tidak akan turut campur, tidak cawe-cawe) dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan pasca Pemilu 2024?
Pertanyaan ini tentu bisa dimodifikasi begini: Apakah anda rela Surya Paloh cawe-cawe dalam masa lima tahun pemerintahannya Anies-Muhaimin? Lalu pertanyaan yang sama juga untuk Jokowi bagi Prabowo-Gibran dan Megawati bagi Ganjar-Mahfud.
Atau kalau mau lebih spekulatif pertanyaannya adalah: Apakah mungkin ketiga
king maker itu tidak terlibat, tidak cawe-cawe, tidak turut campur? Hmm… ya apakah mungkin?
Rasanya kok tidak mungkin ya. Mereka pasti akan cawe-cawe. Pasti secara “de facto” akan turut campur dalam urusan pemerintahan paslon yang mereka usung atau dukung.
Dalam penentuan kabinet atau para pembantu presiden dan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan, rasanya tak mungkin para king maker lepas tangan dan tidak ambil peduli. Mereka pasti mau campur tangan.
Bentuknya bisa macam-macam, yang paling keras adalah dalam bentuk “kontrak politik” seperti yang diisukan telah terjadi di PDIP terhadap Ganjar. Walau ini terbatas sebagai isu/gosip politik, tapi begitu santer. Sampai ke bentuk yang paling halus dalam rupa hanya dimintai saran dan pendapat.
Sementara kepada Anies dan Prabowo kita tidak pernah mendengar adanya semacam “kontrak politik” seperti yang dialami Ganjar.
Kalau begitu ceritanya, pilihan bisa disederhanakan, dari ketiga
king maker itu siapa yang layak kita percaya untuk terus cawe-cawe nantinya? Surya Paloh? Jokowi? Atau Megawati?
Siapa di antara ketiganya yang punya rekam jejak mumpuni untuk bisa kita biarkan tetap cawe-cawe dalam lima tahun ke depan?
Sementara itu kita juga tahu, bahwa efektivitas pemerintahan itu adalah “kerjasama” yang baik antara eksekutif dan legislatif (DPR RI). Tapi bukan dalam bentuk kolusi yang berujung koruptif.
Maka komposisi anggota DPR nanti (2024-2029) akan sangat menentukan efektivitas pemerintahan juga. Dari parpol yang saat ini berkoalisi ke tiga king maker itu, parpol mana yang paling layak diberi kepercayaan untuk mewakili aspirasi kita sebagai rakyat?
Di koalisi satu ada: Nasdem, PKB, PKS dan Partai Ummat. Di koalisi dua ada: Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Garuda, dan PSI. Di koalisi tiga ada: PDIP, PPP, Perindo, dan Hanura.
Bagi Surya Paloh di koalisi satu, tentu Nasdem akan berada dalam “kendali” sebagai
king maker, di mana ia juga sebagai ketua umum Nasdem. Power sharing tentu dengan PKB. Sedangkan PKS dan Partai Ummat tetap diperhatikan.
Bagi Jokowi di koalisi dua, parpol manakah yang ada dalam “rentang kendali” beliau sebagai
king maker? Ini lebih rumit, karena Gerindra (Ketua Umum Prabowo Subianto) harus melakukan power sharing dengan… nampaknya dengan PSI, di mana putera bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, menduduki posisi sebagai ketua umum.
Maka PSI nampaknya berada dalam rentang kendali Jokowi. Bahkan partai ini sudah mendeklarasikan dirinya sebagai partainya Jokowi. Sedangkan parpol anggota koalisi seperti Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora dan Garuda harus tetap diperhitungkan, mereka bukanlah anak kemarin sore dalam kancah perpolitikan.
Bagi Megawati di koalisi tiga, jelas PDIP berada dalam kendalinya. Sedangkan PPP, Hanura dan Perindo berada di bawah bayang-bayang PDIP. Dinamika koalisi terlihat lebih sederhana.
Ini sebuah cara pandang lain, selain melihat paslon (capres-cawapres), tak kalah penting adalah mempertimbangkan ketiga
king maker di belakang mereka. Juga parpol dalam rentang kendalinya. Mana yang lebih bisa kita percaya? Pertimbangkan dengan matang.
Ingat, para
king maker ini (lewat rentang kendali parpol di DPR) tidak akan tinggal diam selama lima tahun masa pemerintahan ke depan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta