Laporan akhir tahun 2023 Polri diumumkan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Rabu, 27 Desember 2023: Ada 8.008 perkara kejahatan terhadap perempuan dan anak yang diselesaikan Polri. Atau rata-rata 22 perkara per hari.
DATA itu menegaskan, tiada hari tanpa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Itu data yang tertangani Polri. Belum termasuk jumlah laporan yang masuk ke Polri. Belum termasuk kasus yang tak dilaporkan.
Padahal, Komnas Perempuan menyebutkan, sekitar satu dari empat kasus KDRT yang dipolisikan. Kebanyakan korban tidak lapor polisi, karena berbagai alasan. Berarti rata-rata bisa 100 kasus KDRT per hari. Bertubi-tubi.
Kapolri Listyo: “Untuk kejahatan tertentu yang mengganggu ketertiban umum, menjadi perhatian publik, mencederai hati masyarakat, merugikan keuangan negara, maupun merugikan masyarakat kecil ataupun kelompok rentan seperti perempuan dan anak, tetap kami lakukan tindakan tegas sesuai peraturan yang berlaku.”
KDRT masuk kejahatan terhadap kelompok rentan. Korbannya rentan, atau tak berdaya. Atau tidak sebanding: Pelaku laki korban perempuan dan atau anak. Bukan perkelahian setara.
Dilanjut: "Penyelesaian perkara tersebut tentunya sangat memperhatikan aspek kesehatan psikologis korban, dan perlu diberikan pendampingan psikologis, karena bagi anak yang berhadapan dengan hukum Polri juga harus mengedepankan mekanisme diversi sebelum penegakan hukum dilakukan.”
Mengapa begitu banyak jumlahnya? Penjawabnya bukan tugas polisi. Melainkan akademisi. Kriminolog atau psikolog, atau pakar gabungan dua ilmu itu.
Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) belum melakukan program komprehensif, yang bisa jadi pedoman masyarakat agar terhindar KDRT, atau setidaknya membikin jumlah kasus tidak sebanyak sekarang. Organisasi itu cuma sekumpulan petugas pemadam kebakaran. Kalau sudah terbakar heboh, barulah mereka datang ke korban. Mereka tidak preemtif dan preventif.
Para akademisi juga belum melakukan riset mendalam, yang hasilnya bisa jadi pembelajaran calon pelaku dan korban. Pemuka agama sudah memberi tausiah, menjelang pasangan menikah. Atau nasihat pernikahan. Tapi itu ala kadarnya saja. Nasihat lima menit. Pendengarnya juga kurang perhatian, karena keburu ingin cepat kawin.
Albert Bandura dalam bukunya berjudul,
Social Learning Theory of Domestic Violence, menyebutkan, semua anak belajar pertama kali dari keluarganya. Anak laki yang melihat ortu melakukan KDRT, kelak berpotensi melakukan KDRT juga terhadap keluarga. Atau tujuh kali lipat lebih mungkin sebagai pelaku KDRT dibanding anak laki yang tidak melihat ortu KDRT.
Merujuk teori Bandura dikaitkan dengan data KDRT dari Polri, menjadi wajar jika terjadi peningkatan jumlah KDRT dari waktu ke waktu. Maka bisa dibayangkan, kondisi mendatang. Jika sekarang, katakanlah 100 kasus KDRT per hari (sebagian besar tak dipolisikan) maka dua dekade mendatang bisa jadi 700 kasus per hari.
Terus menggelembung jumlahnya dari waktu ke waktu. Bagai efek bola salju yang menggelinding.
Dikutip dari Perpustakaan Minnesota Advocates for Human Rights, berjudul: Stop Violence Against Women, diulas tujuh teori penyebab seseorang jadi pelaku KDRT. Tapi, teori-teori itu tidak ada yang sinkron. Masing-masing teori berdiri sendiri, tidak terkait atau punya kemiripan dengan teori lain. Masing-masing mengambil angle berbeda.
Karya Michael Paymar, bertajuk:
Building a Coordinated Community Response to Domestic Violence: An Overview of the Problem (1994) mengutip hasil riset Domestic Abuse Intervention Project (DAIP) di Duluth, Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat.
Riset DAIP menghasilkan teori yang dikenal sebagai Roda Kekuasaan dan Kendali. Maksudnya, pelaku KDRT melakukan kejahatan itu karena ingin merebut (atau tetap memegang) kekuasaan dan kendali atas pasangannya.
Roda Kekuasaan dan Kendali menggambarkan berbagai taktik yang digunakan pelaku kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangannya.
Dalam hubungan yang penuh kekerasan, pelaku kekerasan menggunakan pola taktik yang dijelaskan dalam Roda Kekuasaan dan Kontrol untuk memperkuat penggunaan kekerasan fisik. Insiden kekerasan bukanlah satu-satunya kejadian hilangnya kendali, atau bahkan ekspresi kemarahan dan frustasi yang berulang-ulang.
Sebaliknya, setiap kejadian merupakan bagian dari pola perilaku yang lebih besar yang dirancang untuk menggunakan dan mempertahankan kekuasaan dan kendali terhadap korban.
Dipaparkan, Roda Kekuasaan dan Kendali didasarkan pada asumsi bahwa tujuan pelaku kekerasan adalah untuk menunjukkan kekuasaan dan kendali terhadap perempuan dan anak-anaknya.
Pelaku KDRT secara sadar menggunakan taktik ini untuk memastikan kepatuhan pasangan dan anak-anaknya. Dan, tindakan KDRT terjadi ketika kemarahan pelaku meledak.
KDRT dilakukan laki, disebabkan oleh ketidakmampuan mereka mengendalikan marah dan frustasi. Itu terkait harapan masyarakat, bahwa laki dilarang cengeng. Dilarang mengungkapkan perasaan kecewa. Harus pandai menyembunyikan perasaan kecewa.
Akibatnya rasa kecewa bakal bertumpuk-tumpuk. Sehingga suatu saat meledak jadi kemarahan dahsyat. Dipadu dengan unsur niat ingin pegang kendali keluarga. Akibatnya terjadilah KDRT.
Teori ini terbantahkan teori lain. R. Emerson Dobash dan Russell Dobash dalam buku mereka berjudul,
Violence Against Wives (New York the Free Press, 1979) menyebutkan: Laki pelaku KDRT bukan karena rasa kecewa yang bertumpuk, sehingga meledak jadi KDRT. Melainkan:
“Kekerasan yang dilakukan para pelaku KDRT secara teliti ditujukan kepada orang-orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu pula."
Contoh, pelaku KDRT “memilih untuk tidak memukul atasan di tempat kerja (bos), atau petugas polisi, meskipun mereka sangat marah sehingga bertindak di luar kendali.” Jadi, yang benar adalah target penganiayaan hanya pada orang tertentu yang lebih lemah daripada pelaku.
Dua teori di atas bukan saja berbeda, tapi bertolak-belakang. Begitu juga dengan teori-teori lain yang terhimpun di Perpustakaan Minnesota Advocates for Human Rights.
Kendati, dalam perspektif lebih luas, masing-masing teori itu memberi aneka wacana kepada publik pembaca. Jika dirangkum jadi satu akan menghasilkan suatu teori baru.
Ibarat seekor gajah, bisa dilihat sebagai: Empat pilar tonggak yang kokoh (kaki). Atau dua kipas besar yang bergerak harmonis (kuping). Atau sebuah selang raksasa yang meliuk-liuk sebelum menyemprotkan air (belalai). Ketiganya tidak punya kesamaan atau saling hubungan gerak. Tapi berada di satu badan.
Amerika yang jadi gudangnya teori kriminologi-psikologi-sosiologi, pun ribet merumuskan teori Domestic Violence (KDRT). Apalagi di kita, yang mengadopsi ‘logi-logi’ itu dari sana. Sehingga akademisi kita (mending) diam saja, tanpa riset tanpa produk teori. Wajar sepi teori. Daripada salah.
Esensi pernikahan, dari sudut pandang agama dan ilmu sosial, bukan suatu perlombaan pegang kendali. Ketika laki-perempuan PDKT, berasa sama-sama ingin menyatu dalam harmoni. Rukun-damai. Jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Sampai sama-sama tua. Sampai maut memisahkan mereka.
Bahwa setelah menikah terjadi KDRT, bahkan pembunuhan dalam keluarga, berarti terjadi pembelokan ekstrem dari niat dan doa di awal nikah.
Merujuk riset DAIP, niat pegang kendali jadi awal problem. Jika niat itu diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik atau intervensi psikologis. Sebab, semua manusia normal ingin diperlakukan baik. Tanpa kecuali. Terutama oleh orang terdekat dalam hidup sehari-hari. Kecuali yang tidak normal.
Ketika salah satu dari pasangan melakukan kekerasan terhadap yang lain, otomatis terjadi perlawanan. Otomatis-kontan. Hukum Archimedes: “Setiap benda yang sebagian atau seluruhnya ditekan dalam zat cair, menghasilkan gaya dorong ke atas yang sama besar.” Kata orang: “Semut pun kalau diinjak bakal menggigit. Apalagi elu.”
Dengan 22 perkara KDRT diproses sidik polisi per hari, sudah terlalu banyak. Angka itu saja mestinya jadi warning buat calon pelaku. Tidak perlu teori. Sehingga tidak membebani akademisi kita.
Penulis adalah Wartawan Senior