Sindrom Urbanisasi
BERBICARA urbanisasi hari ini, bukan lagi sebuah fenomena periodik, melainkan sindrom yang menjalar menjadi realita patologis akut. Pasalnya arus urbanisasi menjadi representasi kesenjangan pembangunan kapitalistik di berbagai daerah-daerah marginal Tanah Air.
Daerah perkotaan tumbuh di atas belukar di desa yang makmur. Alih-alih pembangunan merata, konflik lahan tanah pinggiran membuat warga setempat semakin merana.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, persentase arus urbanisasi di berbagai kota besar mencapai 75 persen, bahkan persentasenya akan diperkirakan terus meningkat sepanjang kebutuhan pembangunan industri semakin bertambah.
Bahkan Jakarta, tingkat urbanisasi hingga mencapai angka 100 persen, artinya kepadatan penduduk Jakarta akan terus meningkat bahkan hingga dua kali lipat akibat sindrom urbanisasi yang tengah diderita.
Mirisnya, kondisi yang tidak terkendali ini membuat semakin sempit dada dan sesak napas. Pasalnya persaingan lapangan kerja semakin sengit, lahan hunian semakin sempit, sanitasi kian memburuk, fasilitas pendidikan hingga kesehatan tak kunjung memadai.
Deviasi Dua Kelompok Masyarakat UrbanBila meneropong lebih jauh permasalahan urbanisasi ini, nyatanya tidak lepas dari deviasi dua kelompok masyarakat yang hadir menjadi fenomena niscaya dalam pembangunan kapitalistik.
Kelompok pertama yakni kelompok kelas menengah bawah, yaitu kaum marginal terbelakang, mereka hidup di daerah pinggiran kota di tengah mentereng kehidupan kota. Hidup dengan biaya pas-pasan, yang hidup sebagai pekerja kelas bawah, mendapatkan pendidikan strata rendah, dan terpenjara oleh wabah kebodohan. Kelompok ini tidak menginginkan hal lain kecuali kesejahteraan untuk hidup sehari-hari.
Dampak domino seringkali hadir sebagai konsekuensi dari cara masyarakat urban hidup berdampingan. Padahal jika ingin meraba lebih jauh, kelompok menengah kebawah justru menjadi kelompok paling egaliter memperjuangkan hak-hak dengan bergerak menggeliat di tengah kesempitan.
Akan tetapi semakin sempit dan pahit kenyataan yang mereka terima, semakin mudah difusi idealitas hilang dan luntur hingga akhirnya membebek dengan penguasa yang abai atau pasrah dengan segala kemungkinan pahit yang tengah meliputi mereka.
Biaya hidup yang tinggi sementara pemasukan yang seiring waktu menjadi semakin surut dan sulit, menjajakan penderitaan semakin mengenaskan. Padahal kelompok inilah yang paling banyak menjadi pelaku dari sindrom urbanisasi yang digadang-gadang sebagai solusi dari minimnya akses fasilitas publik di desa.
Arus perpindahan dari desa ke kota memberikan kemungkinan baru yang menghadirkan pundi-pundi harapan hidup sejahtera. Stigma bahwa hidup di kota lebih baik merupakan efek dari kegagalan desentralisasi daerah dengan mekanisme otonomi. Nyatanya aglomerasi hidup perkotaan menciptakan inovasi aktivitas ekonomi meningkat.
Alih-alih para pelaku urbanisasi dari kalangan menengah ke bawah mendapatkan pendapatan lebih baik sehingga bisa hidup sejahtera, mereka justru menjadi sasaran utama aktivitas ekonomi global hingga 'abundance era' memenjarakan mereka.
Mereka dipaksa untuk menjadi konsumen pasar bebas dan menjadi budak-budak dari gaya hidup yang kian hedon. Mengutip peristiwa konsumerisme SCBD, survei membuktikan bahwa mayoritas pekerja yang bekerja di kawasan SCBD memiliki penghasilan utama sekitar Rp5-6 juta saja, sebagian kecil di atas Rp10 juta, tapi sangat sedikit di antara mereka yang berpenghasilan Rp30-50 juta ataupun di atas angkat tersebut.
Namun jika melihat gaya hidup contohnya
fashion dan
outfit yang dikenakan sebagian besar pekerja di kawasan tersebut. Hampir semuanya bermerk, mulai dari tas, sepatu, topi hingga
smart watch yang seharga mulai dari Rp1 juta. Ironisnya tak semua dari mereka berpenghasilan besar bahkan cukup terbilang pas-pasan.
Deviasi kelompok berikutnya adalah kelompok menengah ke atas. Tidak melulu berbicara menengah ke atas adalah mereka yang hanya dinilai 'sejahtera'. Seringkali malah dalam dinamika perkotaan, kelompok ini identik dengan pelaku monopoli pasar bebas yang menjaring raksasa-raksasa swasta sebagai supremasi hegemoni perekonomian kapitalistik.
Dampak industrialisasi urban memaksa adanya kelompok yang harus menjadi pelaku ekonomi kelas atas. Perputaran sektor ekonomi non riil yang bersifat ribawi tengah digandrungi kalangan korporasi bisnis. Pasalnya selain memiliki bobot modal dan nilai pasar tinggi. Penanaman modal bagi mereka yang disebut sebagai "
crazy rich" adalah cara alami untuk bertahan hidup di tengah persaingan bisnis perkotaan kian menggila.
Perusahaan digital misalnya, sebagai adikuasa mengontrol
big data masyarakat dengan berbagai perkembangan teknologi yang semakin menguat. Bagi para kelompok menengah atas, menanam modal pada perusahaan digital yang menggurita adalah hal menggiurkan.
Jika menganalisis secara tajam, terdapat perbedaan psikologis cara berutang antara dua kelompok ini. Kelompok menengah bawah misalnya, berutang demi membeli kebutuhan sekunder seperti hape canggih ataupun elektronik yang menurut mereka bergengsi.
Jumlahnya sebetulnya tidak banyak, hanya sekitar Rp1-5 juta. Tapi, jika melihat kelompok menengah atas, mereka akan berani berutang untuk modal berbisnis bahkan untuk menanamkan modal di salah satu perusahaan bisnis. Ini sebuah pola pikir sederhana yang membuktikan bahwa kelompok menengah ke atas cenderung menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Gaya hidup yang semakin meningkat inilah yang akhirnya menciptakan para '
crazy rich' di tengah kelompok menengah atas. Mereka tercipta dari raksasa korporasi yang hartanya tak habis hingga 7 turunan. Di berbagai media, setidaknya 5 tahun terakhir,
crazy rich digadang-gadang menjadi role model orang sukses yang hidup di alam masyarakat urban.
Alih-alih para '
crazy rich' ini membuka lapangan pekerjaan bagi kelompok menengah bawah sebagai prinsip dasar ekonomi kapitalis klasik '
trickle down effect', justru mereka beralih menjadi promotor
trading online yang menghadirkan kekayaan ilusi alias penipuan. Mereka justru dalang dari tergiurnya masyarakat menengah bawah dengan tawaran cara kaya instan melalui
trading.
Medan yang TerabaikanPedesaan seolah menjadi musuh peradaban yang maju. Seiring dengan masifnya proyek pemberdayaan desa, justru intrik eksploitasi sumber daya alam desa semakin menguat oleh para penguasa yang berbisnis dengan korporasi. Wilayah yang kaya akan mineral (emas, has, minyak, bahan galian) hingga sumber daya hayati (hutan, ikan, ternak, pertanian, perkebunan) justru menjadi sasaran empuk para penjajah oligarki.
Proyek pemberdayaan desa nyatanya tidak tulus untuk warga desa setempat. Hidup mereka justru tergadai dengan proyek-proyek besar yang membabat habis keasrian alam pedesaan. Mulai dari konflik lahan hingga pembodohan warga desa dengan menjajakan mimpi-mimpi akan pembangunan sejahtera yang disiasati dengan istilah-istilah menggoda seperti
eco city, kota mandiri, hingga istilah-istilah lainnya yang mungkin akan muncul di kemudian hari.
Liberalisme swasta yang memberikan kebebasan swasta membeli hingga menguasai kekayaan yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat merupakan kejahatan murni ekonomi kapitalisme.
Jika kehidupan kota kita melihat para kapitalis menjajah pasar di kelas konsumen urban, maka di desa mereka adalah aktor yang menjadi dalang dari ekstraksi besar-besaran sumber daya alam.
Ironisnya, negara justru abai bahkan menjadi enabler dan regulator dari monopoli komoditas desa yang seharusnya dikelola dan didistribusikan kepada warga setempat secara cuma-cuma. Anehnya normalisasi anomali ini terus berlangsung meski berganti kepemimpinan, baik tingkat regional maupun nasional.
Urbanisasi sebagai ParadoksMomok urbanisasi yang hadir sebagai sindrom patologis masyarakat global hari ini adalah cerminan dari kegagalan kapitalisme. Kapitalisme sendiri telah menjadi sebuah sistem yang dianggap purna diterapkan oleh negara bahkan dunia.
Nyatanya, fenomena urbanisasi justru menjadi simbol paradoks dadi konsep pembangunan kapitalistik, pertama fenomena kesenjangan antara desa dan kota dan kedua adalah kemajuan kota modern yang tidak berimbang dengan kemajuan manusia.
Alih-alih kemajuan kehidupan kota menjadi cerminan kemandirian dari kerasan hidup, justru 'hidup mandiri' yang diciptakan adalah individualistik dan kerusakan nilai dan norma organik. Kemunduran yang lahir dari kemajuan merupakan kebohongan.
Kala deprivasi menyerang masyarakat urban, masyarakat tidak lagi berpikir tentang benar atau salah, butuh atau ingin. Semua standar rusak dengan nalar fana yang tercipta sebagai efek psikotik kapitalisme.
Bayangkan sebuah keluarga bisa terlihat bahagia walaupun cicilan rumah dan mobil belum selesai, atau bayangkan seorang mahasiswa terdidik merantau ke kota untuk mendapatkan pendidikan lebih baik namun harus menahan kesempitan hidup di perkotaan.
Tidak berimbang antara defensif dan
offensive menciptakan arus pragmatisme yang akhirnya melunturkan kesejahteraan yang 'hakiki'. Masyarakat urban yang akhirnya menjadikan aktivitas konsumsi sebagai standar kesuksesan adalah titik kehancuran jati diri 'kemajuan' itu sendiri.
Sementara ketimpangan antara desa dan kota adalah harga mahal yang harus dibayar dari paradigma pembangunan kapitalistik. Disaat bersamaan konsumerisme melonjak di kehidupan perkotaan, eksploitasi komoditas alam terjadi di pedesaan.
Mirisnya lagi, masyarakat desa dibiarkan hidup bodoh dan jumud, bahkan terusir dari tanah moyang atau dipaksa untuk dibeli lahannya dengan harga yang jauh dari kata pantas.
Hak hidup mereka dirampas, sementara negara abai dan terus terbuai dengan negosiasi pengusaha. Bahkan tidak sedikit penguasa yang juga dwifungsi menjadi pengusaha. Berbisnis dengan rakyatnya sendiri bahkan jahatnya rakyatnya dibiarkan 'buntung' bukan 'untung'.
Sebetulnya ke mana arah urbanisasi yang diproyeksikan sebagai pembangunan modern ala kapitalisme? Jika berangkat dari teori pembangunan developmentalisme yang lahir dari pasca imperialisme era 2.0 maka seharusnya pembangunan ini lahir sebagai antitesis formulasi pembangunan kolonialisme.
Nyatanya pembangunan ini tidak lain hanya metamorfosis menjadi penjajahan yang lebih mengakar. Pasca babak awal imperialisme 3.0, globalisasi menjadi kepanjangan tangan dari teori developmentalisme. Modernisasi yang melahirkan standar kemajuan baru meredefinisi arti 'maju dan sejahtera' maka dari sini muncul makna maju berarti konsumtif, eksploitatif, bahkan destruktif.
Inilah refleksi atas fenomena urbanisasi yang tidak berujung pada kemajuan fana masyarakat urban melainkan melanggengkan hidup di bawah kutukan kebingungan dan penjajahan kapitalis.
Wallahu A'lam Bi Showab.
*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta