Tidak ada hal mendesak bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyetujui untuk dilakukan perubahan pada UU 7/2017 tentang Pemilu.
Begitu dikatakan Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Muhammad Vagastya, menyikapi keputusan MK soal syarat usia minimal capres-cawapres.
Putusan MK menyatakan bahwa seseorang yang belum berusia 40 tahun dapat menjadi capres atau cawapres dengan catatan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
"Kami rasa tidak terdapat urgensi untuk diubah (syarat usia minimal pada UU Pemilu), tetapi pada akhirnya dikabulkan sebagian oleh MK," kata Muhammad Vagastya dalam keterangan tertulis, Senin (23/10).
Vagastya mengatakan, terdapat alasan hakim MK yang menyatakan
dissenting opinion dan adanya keganjilan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Sementara Prama Aditya Graha, selaku Presiden BEM FISIP UNS, menyebutkan, publik dengan mudah menilai, ada karpet merah yang dibentangkan dari putusan MK itu.
Kata dia, yang mendapat karpet merah itu adalah keponakan dari Anwar Usman yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang belum berusia 40 tahun tetapi menjabat sebagai Wali Kota Solo. Sehingga, Gibran bisa memenuhi syarat maju Pilpres 2024.
"Persoalannya adalah putusan ini merusak berbagai hal, publik menilai MK sudah tidak bisa dipercaya untuk menjadi
guardian of constitution," ujarnya.
Ditambahkan Vagastya, untuk membedah dinamika dan isu-isu politik usai putusan MK itu, dia bersama mahasiswa UNS bakal menggelar diskusi publik pada hari ini.
Diskusi bertema "Ruang Kolaborasi" yang diinisiasi oleh BEM FH UNS, BEM FISIP UNS, dan BEM FMIPA UNS turut mengundang seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat umum untuk hadir pada Senin, 23 Oktober 2023 di Bento Kopi UNS pukul 15.00 WIB.