INDONESIA emas adalah sasaran dalam tiga masa kepemimpinan nasional ke depan. Saat ini kita sedang “menjemput” apa yang disebut dengan bonus demografi. Sekarang mereka ada di generasi Z dan milenial.
Tapi dari sekian banyak anak muda kita, ada segmen yang juga berhak mendapat perhatian, yaitu mereka yang berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus. Apa itu?
Kita biasa mendefinisikan mereka dengan tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan lain-lainnya.
Dalam perbincangan dengan Hasratman (31), seorang psikolog muda yang berdomisili di Kota Cirebon, kita menjadi sadar ada jumlah yang cukup signifikan di segmen ini.
Kebanyakan mereka yang ada di segmen berkebutuhan khusus ini tidak tercatat dalam statistik kota. Sehingga membaca segmen “tuna” ini dan itu di sebuah daerah sering jadi tidak relevan lantaran datanya tidak update sekaligus tidak akurat.
Mengutip info dari sebuah media, Hasratman mengatakan, “Ada sekitar 13 ribu siswa di tingkat SD di Kota Cirebon yang tidak bisa membaca. Nah, mereka ini perlu untuk dibantu secara khusus untuk mengakrabi aksara.”
“Perlu disiapkan sekolah-sekolah inklusi, yaitu sekolah umum yang boleh menerima anak berkebutuhan khusus. Artinya yang guru-gurunya sudah dilengkapi pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi pendamping anak-anak berkebutuhan khusus. Sehingga lingkungannya kondusif bagi anak berkebutuhan khusus,” kata Hasratman lebih lanjut.
Hasratman menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang psikolog yang kemudian terpanggil untuk jadi praktisi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kuliah di Universitas Abdurrab, Fakultas Psikologi di Pekanbaru, Riau, selesai tahun 2015.
Dalam melayani segmen ini, Hasratman sudah berkeliling Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, Batam, Makassar, Yogyakarta, Surabaya, bahkan luar negeri seperti ke Singapura, Malaysia dan Filipina. Ia sempat jadi ketua kontingen untuk tim Indonesia di ASEAN Autism Game dimana Indonesia jadi juara umum.
Pada tahun 2015,Hasratman akhirnya menetap di Kota Cirebon. Itu pun lantaran permintaan orang tua klien yang pernah ditolongnya.
Ceritanya saat itu Hasratman mendampingi seorang anak berkebutuhan khusus dimana anak ini sudah ditangani oleh berbagai “ahli” seperti akademisi, supranatural, psikoterapi, spiritual, dan lain-lain. Bahkan sempat dibawa untuk terapi ke luar negeri (Singapura dan AS) tapi tidak berhasil.
Akhirnya anak itu ditanganinya. Dalam dua bulan yang penuh kesabaran ia pun melakukan pendekatan holistik. Artinya melibatkan orang-orang sekeliling (lingkungan) si anak. Kesabaran dan kasih, dilengkapi dengan pengetahuan dan ketrampilan.
Hal penting yang mesti dicatat adalah bahwa dalam melakukan pelayanannya, Hasratman tidak memungut bayaran. Ya, gratis. Karena ia punya keyakinan Tuhan yang menopang pelayanan yang ia lakukan. Dan karena itu ia mengaku selalu ada jalan keluar atau solusi terhadap setiap kasus yang dihadapinya.
Ia juga merasa perlu melakukan bimbingan terhadap asisten rumah tangga dari kliennya, karena pada kenyataannya merekalah yang sehari-hari dekat dengan anak-anak.
Singkat cerita, menangani mereka yang berkebutuhan khusus mesti punya kesabaran dan kasih. Disamping pengetahuan dan ketrampilan (skill).
“Ada 3K, yaitu Karakter, Komitmen dan Kompetensi dari para pendamping. Sehingga mereka mampu untuk mendiagnosa masalah dengan tepat, kemudian membangun lingkungan yang tepat bagi si anak, dan akhirnya menyiapkan SDM yang tepat agar interaksinya pun tepat,” pesan Hasratman.
Ini persoalan hak seorang warga untuk diurus oleh negaranya.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta