BELAKANGAN ini masyarakat dikejutkan dengan kenaikan harga beras yang tak wajar. Ini adalah kali ketiga harga beras di Indonesia mengalami lonjakan yang begitu tinggi. Sebelumnya, fenomena ini pernah terjadi di tahun 1966 dan 1998.
Sepanjang 2023, harga beras premium telah mengalami kenaikan sebesar 13,29 persen, dan harga beras medium juga meroket hingga 16,79 persen.
Mengutip data dari Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), harga beras premium sekarang ini mencapai Rp14.696,41 per kg. Sedangkan beras medium mencapai Rp12.941,87 per kg.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bilang kalau kenaikan harga beras di dalam negeri mengikuti harga di dunia.
Kenaikan harga beras, kata Jokowi, merupakan imbas dari beberapa negara yang menerapkan kebijakan penghentian ekspor. Selain itu, produksi padi juga mengalami penurunan akibat fenomena El Nino.
Jika begitu, cadangan beras pemerintah semakin minim dong? Bila benar demikian, menjadi wajar kalau masyarakat menjadi khawatir.
Padahal, kalau itu yang menjadi alasan Presiden Jokowi, solusi itu sebenarnya sudah disodorkan ekonom senior, Rizal Ramli pada medio Maret 2020, tepatnya ketika terjadi pandemi Covid-19 di Tanah Air. Bekas Anggota Tim Panel Ekonomi PBB bersama tiga peraih Nobel itu menyarankan pemerintah untuk memanfaatkan momentum itu dengan menggenjot produksi pertanian agar Indonesia tak perlu impor lagi.
Baca:
Rizal Ramli: Jadikan Corona Sebagai Momentum Menggenjot Sektor PertanianNamun, ibarat nasi sudah terlanjur menjadi bubur, gejala terjadinya kelangkaan beras pun sudah mulai terlihat di sejumlah toko ritel seperti Superindo hingga Alfamart yang mulai membatasi pembelian beras kategori premium sebanyak 10 kilogram per hari per konsumen.
Aturan mengenai pembatasan pembelian beras diakui Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey. Ia mengungkapkan, pembatasan itu sesuai dengan arahan dalam pertemuan pengusaha ritel dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Bulog.
Lonjakan harga dan minimnya ketersediaan beras memunculkan pertanyaan mengenai peran Perum Bulog sebagai pengelola persediaan dan distribusi serta pengendali harga beras. Terlebih lagi harga beras sudah lama merangkak naik, tepatnya sejak Agustus 2022.
Salah satu mekanisme pengendalian harga adalah operasi pasar. Teorinya, guyuran beras dalam jumlah masif membuat angka ketersediaannya meningkat dan otomatis harga turun. Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru. Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, saat Bulog dipimpin Rizal Ramli, strategi tersebut pernah diimplementasikan, dan terbukti berhasil.
Keberhasilan Rizal Ramli dalam mengendalikan harga beras sebenarnya bukan rocket science. Ekonom yang terkenal dengan jurus "Rajawali Ngepret dan Rajawali Bangkit" ini memandang komoditas beras seperti valuta asing, sehingga bila ada yang mau berspekulasi harus segera ditangani. Namun, stok beras yang dimiliki Bulog perlu benar-benar diperkuat dalam rangka melawan para pedagang yang menahan komoditas tersebut untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.
Nah, untuk memenuhi persediaan beras di Bulog, langkah ini harus disertai dengan kebijakan Menteri Pertanian yang memastikan ketersediaan pupuk dan bibit murah bagi para petani. Dengan demikian, produksi gabah melimpah ruah, dan pemerintah tak perlu lagi impor beras yang hanya menguntungkan petani di luar negeri.
Faktanya, saat pemerintahan Gus Dur harga beras relatif stabil selama dua tahun sehingga pada jangka waktu tersebut dapat dilalui tanpa impor.
Strategi yang Tak EfektifBulog memang telah melakukan upaya untuk menstabilkan harga beras melalui operasi pasar. Namun, mengapa terkesan gagal? Apakah benar strategi yang dilakukan sesuai dengan langkah yang pernah dilakukan Rizal Ramli?
Bila kita tilik lagi lebih dalam, ternyata ada tiga penyebabnya. Pertama, volumenya masih sedikit. Misalnya, di Jakarta hanya kebagian 10.700 ton. Jumlah tersebut sebenarnya tak cukup untuk menambal defisit persediaan di Pasar Induk Beras Cipinang. Sebab, stok harian di sana 14 ribu ton, jauh di bawah angka normal yang sebesar 30 ribu ton per hari.
Memang, harus diakui bahwa stok beras pemerintah tak cukup untuk melawan para spekulan. Untuk menambah cadangan, Bulog mengimpor 500 ribu ton beras dari Pakistan, Vietnam, dan Thailand.
Kedua, operasi pasar yang dilakukan Bulog ditengarai tidak tepat sasaran. Contohnya, tiga dari empat provinsi penerima terbanyak merupakan daerah surplus beras, yaitu, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Contohnya, Sulawesi Selatan yang memiliki kelebihan stok 2 juta ton, malah diberi 152 ton cadangan beras pemerintah pada tahun lalu.
Penyebab ketiga adalah mekanisme operasi pasar yang dilakukan Bulog kurang tepat. Cara Bulog melepas stok beras justru ke pedagang-pedagang besar, bukan ke masyarakat secara langsung. Dampaknya, pedagang besar nantinya akan menjual kembali ke pedagang kecil sebelum bisa dibeli masyarakat.
Operasi pasar dengan cara mengguyur beras ke pedagang besar agar harga beras bisa turun sebenarnya cara berpikir yang salah. Tak mungkin masyarakat dapat membeli beras sesuai dengan harga eceran tertinggi Rp 9.450 per kilogram di saat pedagang besar melabeli beras yang mereka beli dari Bulog Rp 9.500 per kilogram ke pengecer. Buktinya, masyarakat tetap saja membeli beras medium Rp12.941 per kilogram.
Mengutip pernyataan Rizal Ramli, "Untuk menjadi Kepala Bulog harus memiliki mental yang kuat dan berani untuk menggertak." Kunci dari persoalan perberasan yang terjadi hari ini, maka dibutuhkan karakter buas dari seorang Buwas.
*Penulis adalah mantan Ketua Poros Wartawan Jakarta (PWJ)