Ketua KPU RI, Hasyim Asyari/RMOL
Gugatan uji materiil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) di Mahkamah Agung (MA), yang mengatur soal pencalonan anggota legislatif (Pencalegan) mantan narapidana (Napi) korupsi, tidak dipersoalkan KPU.
Ketua KPU RI, Hasyim Asyari mengatakan, gugatan yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut pada pokoknya mempersoalkan kesesuaian aturan di dalam PKPU dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalegan mantan napi korupsi.
"Itu kan sudah dibuka juga (persoalan itu) di Mahkamah Agung kan PKPU itu," ujar Hasyim kepada wartawan, di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (1/9).
Anggota KPU RI dua periode itu enggan berkomentar banyak terkait persoalan ketidaksesuaian aturan pencalegan mantan napi korupsi di PKPU 10/2023 tentang Pencalegan DPR RI dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota, dan di PKPU 11/2023 tentang Pencalegan DPD RI.
Dia hanya menegaskan, KPU akan mengikuti proses uji materiil yang diajukan ICW ke MA, khususnya terhadap Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023, dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023.
"Nanti kita ikuti saja apa putusannya Mahkamah Agung," demikian Hasyim menambahkan.
Polemik aturan tersebut mengemuka setelah ICW menemukan puluhan nama mantan napi korupsi lolos masuk ke dalam daftar calon sementara (DCS), baik yang terdaftar sebagai bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) DPR RI dan DPD RI maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Tecatat, jumlah mantan napi korupsi yang nyalon anggota legislatif (Nyaleg) DPR RI dan DPD RI sebanyak 15 orang. Sementara, yang nyaleg untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota sebanyak 24 orang.
ICW saat merilis data tersebut menyatakan kekecewaannya, lantaran menganggap KPU tidak transparan dalam membuka informasi profil bacaleg di dalam PKPU.
Di samping itu, KPU juga dianggap membuat aturan yang membuka peluang besar bagi mantan napi korupsi ikut berlaga dalam pesta demokrasi tahun 2024.
Terkait hal tersebut, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja juga telah menyampaikan dorongan kepada KPU agar mematuhi putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022.
Pasalnya, Bagja memandang dalam putusan MK itu jelas mengatur masa jeda 5 tahun mesti menjadi persyaratan kelolosan mantan napi korupsi menjadi peserta pemilihan legislatif (Pileg).
Tetapi, justru dalam PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 memberikan pengecualian syarat tersebut kepada mantan napi korupsi yang mendapat pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Artinya, apabila seorang mantan napi korupsi mendapat pidana pencabutan hak politik di bawah 5 tahun pasca menjalani hukuman penjara, maka masa jeda 5 tahun yang diamanatkan putusan MK tak diberlakukan lagi.
"Jadi, supremasi hukum tetap menjadi kewajiban bagi KPU. Bahwa putusan MK tentang keikutsertaan mantan terpidana itu harus ditaati KPU," demikian Rahmat Bagja berharap.