Diskusi Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional bertajuk "Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa" di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (30/8)/Ist
Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional yang diperingati setiap 30 Agustus, seharusnya bisa menjadi pemantik Pemerintah Indonesia untuk lebih serius menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
Begitu dikatakan Direktur Imparsial Gufron Mabruri dalam diskusi Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional bertajuk "Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa" di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (30/8).
"Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional harus diperingati dengan kesadaran bahwa praktik penghilangan paksa harus dihapuskan, termasuk penyelesaian kasus penghilangan yang terjadi di masa lalu," ujar Gufron.
Penegakan hukum masa lalu memang tidak mudah. Kata Gufron, dibutuhkan
political will dari otoritas terkait di pemerintahan untuk menggerakkan penuntasan itu.
Termasuk dari otoritas politik yaitu presiden. Masalahnya dalam hal ini sikap presiden cenderung selektif dalam penegakan HAM.
"Termasuk dari otoritas politik yaitu presiden. Masalahnya dalam hal ini sikap presiden cenderung selektif dalam penegakan HAM," katanya.
Sejauh ini, kata Gufron lagi, Komnas HAM sudah menyelesaikan tugasnya dalam melakukan penyelidikan dan menerbitkan rekomendasi.
"Tinggal bagaimana rekomendasi itu dijalankan oleh pemerintah," tuturnya.
Sementara itu, orang tua korban penghilangan paksa, Pian Siahaan, berharap DPR RI sebagai otoritas legislatif mampu mendorong pemerintah menuntaskan kasus-kasus orang hilang.
"Rekomendasi DPR sudah cukup jelas, yakni menemukan mereka yang masih hilang, ratifikasi konvensi, pengadilan HAM ad hoc. Empat rekomendasi DPR tidak satupun berjalan," pungkasnya.