Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri/Net
SETIAP tokoh senior sedang bersaing untuk menjadi king maker Pilpres 2024. Masing-masing saling memasang calon yang namanya sudah beken di kalangan masyarakat. Setidaknya didasarkan pada hasil survei sejumlah lembaga yang konon mengklaim diri tidak dibayar oleh calon.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh selalu menjadi yang pertama dalam menentukan jagoan. Tanpa ragu dia mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tanpa ragu juga dia mengajak parpol di luar pemerintahan Joko Widodo untuk berkoalisi, yaitu Partai Demokrat dan PKS.
Baginya, pilpres adalah urusan parpol dan tidak ada hubungannya dengan koalisi dalam pemerintahan. Bahwa Nasdem adalah partai yang sedang berada di lingkaran kekuasaan, tapi di sisi lain Nasdem memiliki kehendak bebas untuk menentukan calon pilpres.
Setelah Anies dideklarasikan, sontak jagoan lain mulai dimunculkan oleh lembaga survei. Paling moncer Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Mula-mula, Ganjar seolah mendapat endorsement dari Presiden Joko Widodo. Satu partai, satu Jateng, dan satu komando di bawah Megawati Soekarnoputri jadi alasan yang menguatkan dugaan tersebut.
Tapi usai Ganjar dideklarasikan Megawati sebagai jagoan PDIP, dukungan Jokowi tampak meredup. Seolah ada perasaan bahwa pintu menjadi king maker untuk Ganjar telah ditutup oleh Megawati. Buntutnya, Ganjar seperti dijauhi dan Jokowi mencari-cari jagoan lain.
Sandaran hati Jokowi kelihatannya berlabuh ke Prabowo Subianto. Bahkan ada wacana yang menyebut Jokowi ingin menduetkan Prabowo dengan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka. Andai syarat presiden dan wakil presiden segera diketok Mahkamah Konstitusi (MK) boleh minimal 35 tahun, maka jalan Gibran terbuka lebar. Artinya, wacana itu bukan sekadar wacana angin lalu.
Kader PDIP Mulai Terang-terangan Mbalelo
Sejalan dengan dugaan Jokowi mendukung Prabowo, sejumlah kader banteng moncong putih mulai berani terang-terangan menyatakan “pengkhianatan” kepada Megawati. Seolah apa yang diputus oleh Megawati dianggap angin lalu oleh kader.
Padahal biasanya, titah Megawati secara tegak lurus dilaksanakan kader. Tidak ada bantahan apalagi pengkhianatan, sekalipun sebelum keputusan diambil Megawati terjadi kontroversi yang dahsyat. “Pejah gesang nderek Megawati,” begitu bahasa ketaatan kader PDIP.
Contoh teranyar, Budiman Sudjatmiko. Memang secara kapasitas Budiman “bukan orang penting” di PDIP. Dia bukan pengurus DPP, bukan juga caleg partai. Tapi bagaimanapun, dia seolah sedang mengajarkan kader banteng untuk berani melawan keputusan PDIP.
Bagaimana tidak. Budiman berkoar bahwa dirinya PDIP sejati, tapi di satu sisi membentuk barisan relawan untuk lawan dari jagoan PDIP. Relawan Prabu dideklarasikan untuk Prabowo Subianto, bukan Ganjar Pranowo yang sudah dipilih Megawati. Bukankah ini bentuk perlawanan bagi kuasa Megawati? Terlebih relawan Prabu dibentuk di kandang banteng, yang menyiratkan aroma menantang penguasa kandang.
Bukan tidak mungkin langkah Budiman ini akan menimbulkan efek domino yang membuat kader lain untuk berpaling. Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan bentuk penggembosan dari dalam partai. Ketegasan Megawati tentu dinanti untuk bisa menertibkan kader yang
mbalelo.
Menanti Megawati
Megawati Soekarnoputri bukan politisi kaleng-kaleng. Perjuangannya di masa Orde Baru (Orba) hingga berhasil mendirikan PDI Perjuangan dan kini menjadi pemenang pilpres dan pileg tidak bisa dipandang sebelah mata. Melawan Megawati sama saja “mencari mati” bagi politisi.
Budiman Sudjatmiko mungkin dianggap angin lalu bagi Megawati. Bukan lawan seimbang. Tapi bagaimana jika ditarik lebih jauh persoalan ini. Siapa kira-kira yang membuat Budiman jadi berani?
Sejumlah pengamat menilai Budiman tidak berjalan sendiri. Dukungan untuk Prabowo diduga kuat atas arahan Presiden Joko Widodo. Alasannya, karena Budiman lebih dekat ke Jokowi ketimbang Megawati. Memang spekulatif, tapi bagaimana jika amatan itu benar.
Apapun itu, Megawati harus mengambil sikap tegas. Siapa saja yang tidak sejalan dengan perintah partai, harus keluar dari PDIP. Khusus untuk pilpres, partai sudah memberinya mandat untuk menentukan dukungan. Artinya, jika ada yang tidak menuruti perintah tersebut, Megawati perlu memberi sanksi tegas.
Bukan hanya kepada Budiman. Tapi juga kepada semua kader tanpa terkecuali. Termasuk Joko Widodo dan keluarga jika mereka masih malu-malu mendukung Ganjar Pranowo. Apalagi, kalau dugaan Jokowi mendukung Prabowo terbukti benar adanya.
Tanpa sikap tegas, Megawati hanya akan semakin dikhianati oleh para kadernya. Terutama para kader yang pragmatis dan tidak lagi mengerti idealisme perjuangan partai.