Sukarno dan Muhammad Hatta/Net
Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 merupakan bagian penting dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia.
Perbedaan pandangan tentang waktu kemerdekaan antara pemimpin tua dan kelompok pemuda saat itu, berujung pada penculikan dua tokoh penting Indonesia, Sukarno dan Muhammad Hatta.
Pada 15 Agustus, kabar soal menyerahnya Jepang sudah tersebar di antara kelompok pemuda Indonesia. Mereka menilai saat itu adalah waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Tetapi, para orang tua, seperti Sukarno dan Hatta masih enggan bergerak secara terburu-buru sebelum mendapat keputusan resmi dari Jepang.
Salah seorang aktivis pemuda, Soebadio menemui Hatta di rumahnya sore itu. Dia mendesak agar proklamasi segera dibacakan.
Hatta yang sedang mempesiapkan teks proklamasi untuk rapat PPKI menjadi jengkel karena diragukan dalam mengambil keputusan.
"Tindakan yang akan engkau adakan itu bukanlah revolusi, tetapi putsch, seperti yang dilakukan dahulu di Muenchen tahun 1923 oleh Hitler, tetapi gagal,” tegas Hatta sebagaimana yang ia tulis dalam memoar Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2010: 78).
Malam harinya, Soebadio bersama pemuda lainnya yakni Wikana, Suroto Kunto, dan D.N. Aidit mendatangi Sukarno di Pegangsaan Timur.
Hatta ikut datang dalam pertemuan tersebut. Pemuda mendesak Sukarno mengobarkan revolusi malam itu juga, mereka juga mengklaim bahwa massa dari PETA dan Heiho telah siap bergerak.
Sukarno memiliki sikap yang sama dengan Hatta. Dia menolak usulan pemuda karena dinilai sebagai keputusan yang tidak bulan dan hanya dari golongan tertentu.
"Tapi kalian tidak kompak. Tidak ada kesatuan di antara kalian. Ada golongan kiri, ada golongan Sjahrir, golongan intelektual, yang semua mengambil keputusan sendiri-sendiri," cecar Sukarno, sebagaimana disebut Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014: 250).
Sepulang dari rumah Sukarno, kelompok pemuda mengadakan pertemuan di Asrama Cikini 71. Saat itu mereka menerima sebuah telegram yang menyatakan bahwa Kaisar Hirohito telah menyerah kepada sekutu.
Para pemuda yakin bahwa pesan tersebut mungkin belum sampai pada Sukarno, Hatta, atau anggota PPKI lainnya. Oleh karenanya, disusunlah sebuah rencana untuk mengamankan Sukarno dan Hatta dari pengaruh Jepang.
Para pemuda meminta Sukarno dan Hatta bersembunyi di luar kota. Dalam memoarnya (hlm. 80), Hatta mengaku diminta pindah karena pemuda bernama Sukarni mengatakan padanya bahwa 15.000 massa akan menyerbu Jakarta untuk melucuti Jepang.
Akhirnya pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945, tepat 78 tahun yang lalu, Sukarno dan Hatta akhirnya dibawa ke Rengasdengklok.
Menurut Benedict Anderson dalam tulisannya berjudul "Revoloesi Pemoeda" (2018: 81), drama penculikan itu merupakan buah dari perbedaan pandangan yang sengit antara pemuda dan orang tua.
Tidak jelas siapa yang memulai, tetapi para eksekutor dalam penculikan dua tokoh terkemuka itu di antaranya ialah Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih, dan dr. Sutjipto.
Ahmad Subardjo, salah seorang anggota PPKI, yakin menghilangnya Sukarno-Hatta ada hubungannya dengan pertengkaran mereka dengan kelompok pemuda malam sebelumnya.
Karena itu ia lantas mencari Wikana untuk mencari tahu. Hari itu pula Subardjo mendapat konfirmasi atas desas-desus mengenai menyerahnya Jepang dari Laksamana Maeda Tadashi.
Subardjo datang ke Rengasdengklok sore harinya dan memberitahukan kepada Sukarno dan Hatta bahwa Jakarta aman-aman saja dan Jepang memang benar sudah menyerah.
Menurut Adam Malik dalam tulisannya berjudul Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945 (1982: 57, saat itu merupakan titik balik melunaknya Sukarno dan Hatta.
Mereka kembali ke Jakarta malam harinya, melakukan persiapan di rumah Laksamana Maeda dan akhirnya proklamasi dikumandangkan pada 17 Agutus 1945.