Elemen buruh menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta/Net
PARTAI BURUH, Serikat Pekerja, dan Serikat Buruh bukan hanya menolak proses pembentukan, melainkan terutama menolak materi bidang ketenagakerjaan UU 6/2023 tentang Cipta Kerja. Menolak bukan hanya melalui mekanisme demonstrasi-demonstrasi, juga menggunakan mekanisme pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan keberadaan MK setelah pemberlakuan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah, maka kanalisasi penolakan terhadap UU mengalir dengan deras ke institusi MK. Namun tidak puas terhadap efektivitas MK sebagai pemutus pengujian UU terhadap UUD 1945, buruh menempuh mekanisme demonstrasi.
Hak Presiden yang digugat oleh buruh adalah hak dalam menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, Pasal 22 ayat (1). Peraturan pemerintah yang telah mendapat persetujuan DPR, Pasal 22 ayat (3), itu pun terkesan secara tersirat hendak dilarang oleh buruh dan saksi ahli pada persidangan MK.
Persoalannya adalah terkesan bahwa hak presiden dalam mengajukan RUU maupun peraturan pemerintah, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) hendak digagalkan untuk berfungsi.
Secara ekstrem, buruh terkesan bermaksud membangun kondisi bebek lumpuh. Hendak melumpuhkan hak-hak presiden. Dilumpuhkan, karena buruh merasa dirugikan atas pelaksanaan pengajuan RUU dan Perppu, walaupun telah disetujui oleh DPR.
Dalam hal ini, buruh terkesan bermaksud memosisikan dan memanipulasikan implementasi dari Pasal 1 ayat (2), yakni kedaulatan berada di tangan rakyat. Maksudnya adalah rakyat berposisi sebagai tuan dari presiden.
Buruh sebagai rakyat berada di atas presiden, sekalipun pelaksanaannya diatur menurut UUD, yakni diatur berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 5 di atas.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila saksi ahli yang mewakili kepentingan buruh lebih mendahulukan mempersoalkan klausul dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dibandingkan memberikan kesempatan hak kepada presiden untuk menetapkan Perppu, sekalipun DPR telah menyetujui Perppu.
Atas nama klausul kedaulatan rakyat tersebut, maka buruh sebagai rakyat juga terkesan memosisikan buruh berada di atas struktur bukan hanya presiden, melainkan juga DPR.
Perbedaan tafsir tentang kedaulatan rakyat di atas maupun terutama keyakinan bahwa UU 6/2023 mengamputasi manfaat yang diperoleh dibandingkan UU Ketenagakerjaan periode sebelumnya, itu menjadi dasar yang menjelaskan tentang mengapa terjadi penolakan-penolakan atas pelaksanaan hak presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Yang kedua adalah apa yang diatur dalam UUD 1945 hendak dikoreksi menggunakan metodologi teknis tandingan dalam mengatur pemerintahan, yakni dengan menentang pemberlakuan ketentuan dalam UUD 1945.
Sementara itu proses pembentukan UU terbaru diatur menggunakan UU 13/2022. Yang dipersoalkan adalah praktik pelaksanaan dari Pasal 96 dari UU 13/2022, yang mengatur hak masyarakat dalam memberikan masukan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); pengajar Universitas Mercu Buana