Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan di Jakarta International Stadium (JIS)/Net
Serangan negatif yang belakangan menyasar kepada bakal calon presiden Anies Baswedan tidak lepas dari mudahnya publik dan lawan politik mengorek rekam jejak mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Pengamat politik Samuel F Silaen memaparkan, seorang mantan pejabat yang akan bertarung di pesta demokrasi akan sangat mudah menjadi sasaran empuk bagi pembenci, tak terkecuali terhadap Anies Baswedan.
Apalagi, saat ini publik sangat mudah mengakses rekam jejak tokoh hanya melalui internet. Baik melalui media sosial maupun pemberitaan media massa.
"Semua orang bisa mencari dan melihat rekam jejak Anies ketika menduduki jabatan publik, di antaranya Menteri (Mendikbud) dan Gubernur Jakarta. Apa yang dilakukan Anies di luar pakem, itu akan menjadi kelemahannya," kata Samuel F Silaen kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (13/7).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana) ini menjabarkan, jika Anies tidak pernah duduk sebagai pejabat publik, maka akan lain cerita.
"Mungkin saja tidak ada kampanye negatif terhadap dirinya. Di era kemajuan teknologi informasi yang begitu dahsyat ini, maka kebaikan dan juga 'kebobrokan' terekam dan tersimpan oleh teknologi yang bernama
big data," sambungnya.
Namun sayang, kemudahan akses teknologi ini pula yang mempermudah pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk memproduksi
hoax dalam menjatuhkan citra salah satu pihak tertentu.
"Di sinilah terjadinya perang antarfans (pendukung) masing-masing untuk meraih peluang dan dukungan dari masyarakat. Kembali lagi kepada tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri," tutup alumni Lemhannas Pemuda 2009 itu.
Anies Baswedan menjadi salah satu bakal capres yang kerap menjadi target kampanye negatif oleh lawan politik. Salah satu yang disorot adalah soal polemik pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).
JIS menjadi salah satu
legacy Anies setelah menyelesaikan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun keberadaan stadion sepak bola di Jakarta Utara ini dipersoalkan karena diklaim tidak sesuai standar federasi sepak bola dunia, FIFA. Polemik ini dianggap kental muatan politik lantaran mencuat setelah Anies didapuk sebagai bacapres dari Nasdem, PKS, dan Demokrat.