MARK Rutte adalah Perdana Menteri Belanda yang paling senior di benua Eropa. Politikus dari Partai Rakyat Untuk Kebebasan dan Demokrasi atau Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD), sudah memimpin negara kincir angin sejak 14 Oktober 2011. Akibat gagal menyatukan suara partai koalisi yang mendukungnya, lelaki kelahiran Den Haag 14 Februari 1967 mengundurkan diri dari jabatan yang telah diduduki selama 12 tahun lebih.
Pemerintahan Rutte disokong oleh 5 partai. Selain partai yang dipimpin sendiri, alumni Universitas Leiden ini didukung oleh 4 partai parlemen lainnya. Dimana konfigurasi kursinya merupakan mayoritas kursi parlemen Belanda yang beranggotakan 150 orang.
Hasil Pemilu 2021, VVD 34 kursi, Democraten 66 (D66) 24 kursi, Christen-Democratisch Appèl (CDA) 15 kursi, Partij van de Arbeid (PvdA) 9 kursi, dan Christen Unie (CU) 5 kursi. Total kekuatan partai koalisi Rutte 87 kursi, sehingga sudah melampaui mayoritas parlemen 75 kursi lebih. Sayangnya, PM berasal dari guru sekolah menengah ini tidak dapat menjaga kekuatan koalisi dan ambyar di tengah jalan.
Rutte mengusulkan agar ada pembatasan bagi anak imigran baru bisa diterima dan berkumpul dengan keluarga imigran di Belanda setelah menetap selama 2 tahun. Usulan PM lajang ini ditentang oleh 2 partai koalisi yang lain. Yaitu: D66 dan CU yang menguasai 39 kursi. Akibatnya, perbedaan pendapat kawan koalisi mantan manager departemen SDM Unilever ini mengalami
deadlock.
Akhirnya, Rutte gagal mengamankan mayoritas parlemen dan menyatakan pengunduran diri kepada Raja Belanda, Willem Alexander yang mulai naik tahta pada 30 April 2013. Selama belum diadakan pemilu, pemimpin politik liberal konservatif ini tetap melaksanakan pemerintahan sementara yang tidak boleh mengambil kebijakan strategis baru.
Sekarang, Belanda mengalami krisis politik yang berlatar kebijakan anti imigrasi yang menjadi persoalan serius. Sebab, pertumbuhan angka kaum imigran telah melampaui angka pertumbuhan penduduk. Jumlah imigran 400 ribu pada 2022, sedangkan jumlah penduduk bertambah 111 ribu. Mereka khawatir dominasi populasi penduduk asli berlahan digeser oleh populasi kaum imigran.
Data statistik Belanda menyebutkan bahwa dari 17,6 juta penduduk pada 2022, sudah terdapat 4,4 juta yang berlatar imigran. Mereka para pendatang bukan bangsa Barat yang berasal dari Turki dan Maroko. Mereka imigran muslim yang mengadu nasib bekerja dan tinggal di Belanda. Selain dari warga negara yang minta suaka politik yang berasal dari Suriah, Irak dan Afghanistan rerata tiap tahun naik dari 47 ribu tahun lalu menjadi 70 ribu tahun ini.
Memang, ideologi ultranasionalis di Uni Eropa semakin kuat dan meluas hari ini. Kelompok sayap kanan maupun kiri tampak melihat urgensi kebijakan pembatasan imigrasi. Sebab, bila dibiarkan bisa menjadi bom waktu bagi pergeseran penduduk, baik secara vertikal maupun horisontal. Mereka merasa ada ancaman nyata dari kaum imigran terhadap eksistensi dan supremasi politik, ekonomi dan sosial Barat di negeri sendiri sekalipun.
Para elite dan rakyat Belanda nampak dari krisis politik yang mengancam masa depan karier Rutte, ada kecemasan yang mendalam terhadap arus imigrasi yang kian tak terkendali. Suasana kebatinan para
nederlander ini mengalami disorientasi kebijakan antara prinsip keterbukaan satu sisi dan kepentingan nasional sisi lain. Mereka mulai tak nyaman dengan kedatangan dan perkembangan kaum imigran di negaranya yang telah merampas kesempatan kerja dan tanah tempat tinggal mereka.
Belanda dengan luas wilayah 41 ribu km2 lebih, dengan pertumbuhan ekonomi 1-4 persen dan pengangguran 2-8 persen, maka pertambahan jumlah imigran menjadi beban berat tersendiri. Alih-alih mendapat keuntungan, justru malah menimbulkan bencana besar bagi negara yang 30 persen lebih wilayahnya di bawah permukaan laut.
Dengan demikian, kegagalan Rutte membulatkan suara partai pendukung koalisi pemerintahan, telah memaksa Belanda untuk menggelar pemilu kembali. Padahal, pemerintahan Rutte ke-4 baru berumur 16 bulan sejak 10 Januari 2022. Kini, Badan Federal Pemilu Belanda harus menyiapkan pemilu beberapa bulan kedepan, lantaran para elite yang berkuasa gagal membuat kesepakatan.
Belanda harus membayar sikap kekeh para elite dari
the rulling party dengan instabilitas politik yang menimbulkan ketidakpastian. Memang, sistem demokrasi parlementer yang dianut sejumlah negara sangat rawan gagal membentuk pemerintahan mayoritas parlemen. Kendati, partai pemenang pemilu berhasil membentuk pemerintahan, juga sangat potensial jatuh di tengah jalan. Pengalaman kabinet Rutte menjadi contoh terbaik dari jatuh bangunnya pemerintahan parlementer.
Selama 12 tahun Rutte berkuasa. Sudah empat kali, ia menyusun pemerintahan selama masa jabatan 4 tahun. Namun ternyata, usia jabatan yang dijalaninya tak sama. Usia kabinet Rutte pertama selama 21 bulan (14 Oktober 2010-5 November 2012), kedua selama 57 bulan (5 November 2012-26 Oktober 2017), ketiga selama 57 bulan (26 Oktober 2017-10 Januari 2022), dan keempat (10 Januari 2022 sampai sekarang).
Jadi, sistem pemerintahan presidensial lebih menjamin stabilitas politik daripada sistem pemerintahan parlementer. Indonesia dan Belanda cukup menjadi contoh. Betapa politik Indonesia lebih stabil ketimbang politik Belanda yang labil.
Dua negara punya hubungan sejarah masa lalu sebagai bangsa yang menjajah dan dijajah. Keduanya memilih jalan demokrasi sendiri-sendiri sebagai mekanisme merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Rutte telah mengucapkan permohonan maaf atas kejahatan penjajahan masa lalu, mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan akan mengembalikan 472 benda bersejarah Indonesia. Namun, Rutte sendiri sedang menghadapi masalah politik dalam negeri.
Lepas dari itu semua, tak kurang dari 2 persen penduduk Belanda sekarang adalah etnis Indonesia. Mereka adalah kaum imigran yang telah beranak-pinak. Mereka adalah etnis yang menjadi salah satu sasaran dari penguatan ultranasionalisme, anti imigran dan anti Islam dari sana.
Pemerintah dan rakyat Indonesia harus mewarning, bagaimana pun penduduk Belanda yang beretnis Indonesia memiliki hubungan historis dan biologis dengan Nusantara. Mereka harus dijaga dan dilindungi layaknya warga negara yang lain. Ini cara taubat Belanda terhadap Indonesia.
*
Penulis adalah Pendiri Eksan Institut