Pengakuan Belanda atas Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan sebuah penipuan.
Menurut sejarawan Batara R. Hutagalung, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte hanya menerima kemerdekaan Indonesia secara de facto, yang tidak memiliki dampak apa pun secara hukum.
"Itu penipuan. Jadi penjelasannya setelah diumumkan dalam perdebatan parlemen baru dikatakan bahwa pengakuan tersebut tidak berlaku untuk masalah hukum. Tidak ada perubahan dari hukum
(de jure), dan itu bukan pengakuan," kata Batara dalam unggahan di kanal YouTube-nya pada Rabu (5/7).
Dalam penjelasan lebih lanjut, Batara mengatakan, jurubicara Mark Rutte juga menyebutkan pengakuan Proklamasi RI 17 Agustus 1945 hanya sebagai fakta sejarah, dan tidak berhubungan dengan perang yang terjadi antara Belanda dan Indonesia selama empat tahun setelahnya.
Menurut Batara, Rutte kini berencana untuk berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo guna mencapai kesepakatan mengenai penerimaan
de facto dari pemerintah Belanda.
Namun, Belanda tetap tidak akan memberikan pengakuan resminya secara yuridis terhadap Republik Indonesia.
Dalam penjelasannya, Batara meyakini bahwa Belanda takut untuk mengakui kemerdekaan RI secara
de jure, yang akan berdampak pada pengakuan agresi militer yang dilakukan negaranya.
"Akibatnya, pemerintah Belanda harus membayar pampasan perang
(war reparation),/i> kepada Republik Indonesia, seperti yang telah dilakukan oleh Jepang setelah berakhirnya agresi milter Jepang tahun 1942-1945," jelasnya.
Selain itu, veteran-veteran Belanda yang ikut dalam perang di Indonesia, juga akan dicap menjadi penjahat perang.