INDONESIA perlu segera mempunyai kesadaran sedini mungkin terhadap kebijakan industri Amerika Serikat (AS) yang belum lama ini diterapkan. Terutama terkait dengan kebijakan hilirisasi industri yang dewasa ini sedang dikerjakan, dan terus dikampanyekan oleh Presiden Joko Widodo.
Sebab, kebijakan industri AS tampaknya cukup berbeda arah dengan kebijakan industri yang sedang dikerjakan Indonesia.
Diketahui, pada Agustus 2022, AS mengeluarkan dua beleid tentang industri, yaitu Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS and Science Act (CSA).
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa kedua kebijakan ini pada intinya adalah upaya untuk mengembalikan proteksionisme industri, dan mengurangi persaingan di bidang industri pada negara-negara lain, termasuk negara berkembang.
Kebijakan IRA dan CSA tidak hanya menguatkan keunggulan kompetitifnya dalam bidang teknologi, tetapi juga terhadap produksi barang dengan teknologi tinggi dan hijau dalam jangka panjang.
Sebagai perwujudannya, di bidang industri baterai misalnya, AS sudah menggunakan teknologi iklim yang lebih ramah lingkungan. Dalam kebijakan IRA, nikel dari Indonesia tidak termasuk dalam bahan baku yang mendapat insentif, karena Indonesia tidak memiliki perjanjian perdagangan dengan AS.
Jika kebijakan tersebut secara cepat dapat terealisasikan, tentu akan mampu menarik minat negara-negara lain dalam berinvestasi. Selain menjanjikan sebagai teknologi iklim, UU IRA diprediksi juga memiliki ketahanan yang lama, dengan prediksi terwujud secara efektif di 2030 hingga seterusnya.
Sementara itu, di Indonesia kebijakan hilirisasi industri sedang semangat-semangatnya dilaksanakan. Kebijakan ini, sebagaimana harapan besar Presiden Joko Widodo, adalah dapat berperan penting dalam membuka kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
Ekosistem industri adalah salah satu produk yang semakin solid dikembangkan. Indonesia diharapkan akan mampu menjadi kiblat dalam hal produksi seluruh komponen yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik.
Tolok ukurnya, kata Presiden, yakni ketergantungan negara-negara lain dalam bidang industri kendaraan listrik terhadap Indonesia. Bahkan, Presiden Joko Widodo menargetkan perusahaan otomotif AS, Tesla, dapat berinvestasi pada industri Indonesia.
Potensi Nikel IndonesiaMemang upaya Presiden Jokowi untuk mengembangkan hilirisasi industri, terutama nikel, dan ingin menjadikan Indonesia sebagai kiblat industri untuk kendaraan listrik adalah sangat realistis.
Berdasarkan data United State Geological Survey (USGS) dan Badan Geologi Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah cadangan nikel di Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia, yakni mencapai 72 ton. Produksi nikel tersebut diperkirakan dapat bertahan hingga 27 tahun mendatang.
Dengan demikian, kesempatan Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam memproduksi baterai kendaraan listrik sangat terbuka lebar. Apalagi jika melihat besarnya jumlah bahan baku nikel yang tersedia hingga tahun 2055.
Namun demikian, dan ini yang perlu diperhatikan secara seksama, bahwa kebijakan nikel dalam jangka lama tidaklah ramah lingkungan. Ini sudah jadi rahasia umum. Penambangan nikel sangat eksploitatif, sehingga merusak lingkungan.
Sementara ini, dunia global sedang mengalami tren untuk menjaga lingkungan. Melakukan pembangunan berkelanjutan. Mengembangkan ekonomi hijau. Maka, dalam kebijakan hilirisasi industri nikel, yang perlu diperhatikan pemerintah secara bijak adalah soal perlindungan lingkungan.
Di samping itu, kebijakan hilirisasi industri tersebut juga perlu didukung oleh pengembangan energi baru terbarukan (EBT) secara masif. Perlu dicatat, dunia global sudah mulai dengan tren energi baru terbarukan.
Maka, sekali lagi, sebaiknya kebijakan hilirisasi ini dibarengi dengan keseriusan pemerintah untuk pengembangan EBT.
Tantangan KitaSemangat kita untuk melakukan hilirisasi industri nikel memang cukup ambisius. Namun demikian, juga harus sadar bahwa ambisi Indonesia menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar dunia masih tertinggal jauh dengan kompetensi negara maju, seperti Uni Eropa (UE) dan AS.
Di mana, UE dalam masa penerbitan undang-undang bahan baku kritis dengan tujuan mendukung diversifikasi bahan utama pembuatan baterai, seperti litium.
Begitupun dengan AS, terutama dalam peningkatan teknologi terbarukan dan pengenalan insentif terhadap produksi hilir hidrogennya.
Kebijakan IRA AS, dengan memberikan insentif untuk produksi kendaraan listrik, bertujuan agar dapat mempercepat kebijakan domestik baterai kendaraan listrik yang menekankan pada tenaga surya dan angin.
Penting juga untuk dicatat, bahwa produksi baterai kendaraan listrik AS memanfaatkan banyak jenis bahan baku (termasuk nikel, litium, dan kobalt). Sedangkan Indonesia, sebagaimana jamak dipahami, hanya unggul untuk bahan baku nikel saja.
Sementara litium sejauh ini masih impor. Maka, meski Indonesia dapat meningkatkan produksi kendaraan listriknya, di sisi yang lain pasti juga akan menambah besaran impor litium.
Dalam hal ini, tentu saja kebijakan industri AS tidak berlebihan jika dinilai banyak pihak lebih menjanjikan.
Maka, tampaknya industri baterai kendaraan listrik AS akan lebih diminati. Beberapa perusahaan China juga sudah mulai menaruh harapan besar atas kebijakan ini.
Apresiasi Proposal FTA IndonesiaSekalipun demikian, kita tentu wajib memberikan apresiasi Pemerintah Indonesia, yang belum lama ini, tepatnya pada bulan April lalu menyodorkan Proposal FTA.
Proposal FTA ini memang sengaja dibuat untuk menyikapi kebijakan AS, yang cukup diskriminatif terutama bagi Indonesia. Proposal ini semestinya diajukan mengingat Indonesia punya posisi tawar yang tidak kecil, yakni sebagai negara penghasil bahan baku baterai kendaraan listrik berupa komoditas nikel terbesar di dunia.
Sekalipun sementara pihak menganggap kecil kemungkinan Indonesia mendapatkan persetujuan atas pengajuan FTA dalam perjanjian IRA, karena AS telah terlebih dahulu terikat perjanjian bersama Australia dan Chile yang juga punya potensi kualitas cadangan mineral yang tinggi, tapi kita tidak boleh bersikap pesimis.
Indonesia harus tetap berusaha dalam bernegosiasi dengan Pemerintah AS, agar mendapat persetujuan untuk mengadopsi perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
Yang tidak kalah penting untuk dilakukan, pemerintah juga perlu menyiapkan skenario terburuk jika sekiranya proposal FTA Indonesia benar-benar ditolak.
Semangat untuk mengembangkan hilirisasi industri nikel tidak boleh surut. Indonesia harus tetap memainkan perannya dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik, sebagai bagian dari upaya memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya alam yang dianugerahkan Tuhan YME kepada bumi Indonesia, demi sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Wallahu a'lam. *Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta