PRIA ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) dibantai empat anak usia 13 hingga 15 tahun di Lebak, Banten. ODGJ usia 35 itu diikat, disekap-dianiaya tiga hari, disiram bensin, akhirnya dibakar mati. Mayat ditemukan setelah membusuk. Polisi menahan para tersangka anak.
Peristiwa ini mengenaskan. Polisi terpaksa menyidik anak dan remaja itu. Tindakan mereka tergolong keji. Tapi, polisi akan memeirksakan kejiwaan para tersangka.
Kapolres Lebak, AKBP Wiwin Setiawan kepada wartawan, Jumat, 16 Juni 2023 mengatakan: "Para pelaku melakukan dugaan tindak pidana tersebut dengan cara mengikat korban dengan tali tampar warna biru, selama tiga hari, kemudian korban digiring ke arah pantai, dibakar."
Para tersangka, AD (13), HB (13) kelas enam SD, MA (14) tidak pernah sekolah dan MI (15) putus sekolah kelas tiga SMP. Sedangkan ODGJ belum disebut namanya, tapi sehari-hari berada di sekitar TKP.
Kronologis, Rabu, 14 Juni 2023 sore. Di dekat Pantai Bayah, tepatnya Bayah Tugu, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten. Ditemukan mayat gosong, dua tangan seperti terikat ke belakang, dan sudah membusuk. Lokasinya sepi orang.
Warga lapor polisi. Jenazah dievakuasi. Polisi menyelidiki. Diketahui identitas korban sebagai ODGJ yang biasa tidur di pinggir jalan di wilayah itu.
Akhirnya polisi mengarah pada MA. karena berdasar keterangan saksi, dua pekan sebelumnya MA dilempar batu oleh ODGJ itu. MA diinterogasi, mengaku. Lalu ia menyebutkan menganiaya korban bersama teman-temannya. Maka, ditangkap tiga tersangka lain.
Dari interogasi empat tersangka anak dan remaja itu, akhirnya polisi mengetahui kronologi dan motif pembunuhan.
Motifnya, MA balas dendam. Sebab, pernah dilempar batu oleh ODGJ, kena punggung.
AKBP Wiwin: "MA yang punya ide, mengikat tali dan memukul korban dengan kayu.”
AD memukul korban dan membakar wajah korban. MI berperan memukul korban sebanyak dua kali, mengucurkan bensin, dan mengikat korban di pohon dekat pantai.
HB ikut menganiaya korban. Penganiayaan berlangsung tiga hari, sebelum ODGJ dibakar. Caranya, diikat disekap di gubuk kosong di wilayah itu. Jadi, selama tiga hari itu anak-anak ini datang ke TKP hanya untuk menganiaya korban.
Jumat, 9 Juni 2023, setelah tiga hari diikat tak diberi makan, dan dianiaya, korban diseret menuju pohon di dekat pantai. Di sanalah ODGJ disiram bensin, lalu dibakar. Tewas. Mayatnya ditinggalkan begitu saja.
Polisi menyita barang bukti berupa, satu kaos lengan pendek warna hitam, satu celana pendek hitam, satu bilah kayu sepanjang kurang lebih satu meter, sebuah batu, satu sepeda motor, dan tiga utas tali.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 170 Ayat 2 dan Pasal 351 Ayat 3 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 17 tahun.
Wiwin: "Rencana ke depan kami dari Satreskrim Polres Lebak akan berkoordinasi dengan UPT PPA dan Psikologi untuk mengecek kejiwaan pelaku.”
Polisi merasa, ada yang tidak normal pada kejiwaan para pelaku. Tindakan mereka sangat sadis. Tak terbayangkan dilakukan oleh anak dan remaja seusia mereka. Tapi para pelaku tetap ditahan.
Apakah yang membuat para tersangka bisa sekejam itu?
Tiga kriminolog Amerika Serikat, CK Mcknight, Dr JW Mohr dan Dr J. Erochko dalam karya mereka berjudul “Mental illness and homicide” (1966) meneliti pembunuhan yang pelakunya anak dan remaja.
Mereka meneliti sembilan anak dan remaja pembunuh, dibandingkan dengan 24 anak dan remaja yang tidak pernah melakukan kejahatan. Dilakukan riset komparasi pada mereka.
Mereka melakukan riset karakteristik biopsikososial yang mencakup gejala psikotik, gangguan neurologis utama, kerabat tingkat pertama psikotik, tindakan kekerasan selama masa kanak-kanak, dan penganiayaan fisik yang parah.
Hasil akhirnya, bahwa 77 persen didiagnosis psikiatri sebagai pengidap skizofrenia. Bentuknya paranoid, manik-depresi, kepribadian psikopat, dan epilepsi.
Penyakit jiwa itu tidak berbentuk seperti orang gila (ODGJ). Bukan orang gila yang telanjang, atau bicara gak nyambung. Bukan. Mereka tampak normal. Tapi kondisi kejiwaan mereka terganggu.
Riset tersebut tidak mendalami penyebab anak dan remaja pembunuh itu bisa jadi begitu. Cuma disimpulkan, bahwa masa lalu anak-anak itu (yang 77 persen) kelam. Bisa karena penyiksaan di masa kecil. Pelecehan fisik dan psikologis. Juga pengabaian orang tua atau wali.
Korelasi antara masa lalu mereka yang kelam dengan tindakan kekejaman mereka di masa remaja, adalah hasil rekaman bawah sadar mereka di masa lalu. Otomatis muncul dalam bentuk tindakan brutal.
Hasil riset itu menyarankan, 55 persen dari para pelaku yang skizofrenia tidak layak diadili. Dan 27 persen dinyatakan tidak bersalah dengan alasan gila. Studi itu, bagaimana pun, condong oleh fakta bahwa sampel diambil dari rumah sakit penjara.
Setahun kemudian, 1967, Marvin E. Wolfgang dan Franco Ferracuti menerbitkan hasil riset mereka bertajuk “The Subculture of Violence: Towards an Integrated Theory in Criminology” (New York, 1967) membantah hasil riset di atas.
Hasil riset Wolfgang dan Ferracuti meneliti pembunuh anak dan remaja di Penjara Philadelphia, 1967 bahwa hanya 3 persen pembunuh yang berusia anak dan remaja di penjara Philadelphia yang gila.
Dua riset yang cuma beda setahun itu membingungkan para penegak hukum di sana. Sebab, hasil riset para akademisi ini selalu dijadikan rujukan para pegak hukum di sana. Satu pihak mengatakan pelaku gila, pihak lain menyatakan, tidak.
Empat anak dan remaja di Lebak, masih disidik polisi. Akan melibatkan ahli jiwa untuk meneliti anak-anak itu. Biasanya hasil penelitian psikiatri kriminal ini tidak dipublikasi. Melainkan disimpan sebagai arsip penegak hukum.
Sebenarnya, publik perlu tahu hasil penelitian itu. Sebagai pengetahuan untuk menghindarkan anak dan remaja jadi pembunuh.
Penulis adalah wartawan senior