Tokoh nasional, DR. Rizal Ramli saat bertemu dengan pimpinan Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bondowoso, Jawa Timur, KH. Thoha Yusuf Zakariya/Ist
HUBUNGAN persahabatan tokoh nasional Dr. Rizal Ramli dengan para tokoh agama bukan merupakan hal yang baru. Sebagai murid ideologis Gus Dur yang menekankan pentingnya menjaga toleransi dan kerukunan Rizal Ramli juga mengutamakan dialog untuk mencapai Indonesia yang lebih baik.
Setelah sebelumnya pada Kamis, 1 Juni lalu, bertemu dengan tokoh umat Hindu dari Bali, Ida Rsi Putra Manuaba (Agus Indra Udayana) atau yang biasa disapa Gus Indra, hari Sabtu lalu Rizal Ramli bertemu dengan pimpinan Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bondowoso, Jawa Timur, KH. Thoha Yusuf Zakariya.
Silaturrahim dengan putra kiai kharismatik, KH Muhammad Ma'shum ini, berlangsung dalam suasana kekeluargaan. Selain sudah akrab dengan situasi pesantren yang pernah dikunjunginya beberapa tahun lalu itu, Rizal Ramli juga bersahabat dengan mendiang KH Muhammad Ma'shum ayahanda KH Thoha Yusuf Zakariya.
Di sela-sela pengajian rutin bulanan Tambhana Ate, Ngaji Kitab Tafsir Jalalain yang dihadiri oleh para kiai, para santri dan para santriwati serta masyarakat umum itu KH Thoha Yusuf Zakariya meminta Rizal Ramli untuk menjelaskan mengapa kondisi perekonomian nasional saat ini begitu sangat memprihatinkan.
“Kita sekarang ini sedang mencari obat untuk hati yang sedang gundah gulana. Karena ekonomi, politik, keamanan, sosial, di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kenapa kok seperti ini masalah ekonomi kita?...” ujar KH Thoha Yusuf Zakariya.
Menurutnya, pemiskinan ekonomi atau pemfakiran umat di negeri ini dapat mengakibatkan kekufuran umat. Di sisi lain iman dan taqwa kepada Allah SWT sangat diperlukan, karena iman dan taqwa akan memberikan jalan keluar dan barokah. Tanpa iman dan taqwa pintu-pintu keberkahan akan ditutup.
“Kami minta masukan dan arahan dari Pak Rizal Ramli. Kami ini orang desa, tapi ingin juga mempunyai wawasan global supaya kita siap menghadapi krisis pangan, krisis air, krisis ekonomi. Juga soal utang yang katanya tiap tahun bayar utang 1.000 triliun. Kita butuh pemimpin yang kuat supaya Indonesia bisa keluar dari masalah-masalah seperti ini,” tandas KH Thoha Yusuf Zakariya.
Sebelum memulai pemaparannya Rizal Ramli mengapresiasi ketangguhan dan kehebatan KH Thoha Yusuf Zakariya dalam mengelola Pondok Pesantren Al-Ishlah, sebagaimana yang dilakukan oleh mendiang KH Muhammad Ma'shum, di mana antara lain para santri dan santriwati Pondok Pesantren Al-Ishlah ada yang digratiskan dari biaya mondok dan ada yang boleh membayar biaya mondok semampunya.
Tentang kondisi perekonomian Indonesia yang kini semakin tertinggal oleh negara-negara lain Rizal Ramli secara sederhana antara lain menjelaskan pada akhir tahun 1960-an kondisi perekonomian negara-negara di Asia, termasuk pula Asia Selatan, seperti China, Jepang, Korea, Malaysia, Thailand, India, Singapura, umumnya kondisinya sama, yaitu sama-sama miskin.
China misalnya income per kapitanya waktu itu setiap orangnya hanya 50 dolar AS, setengah dari Indonesia. Namun dalam waktu sekitar 30 hingga 40 tahun negara-negara tersebut mampu meningkatkan taraf perekonomiannya dan menjadi negara maju. Malaysia kini income per kapitanya 3,5 kali dibandingkan dengan Indonesia. Inilah yang menjelaskan para tenaga kerja Indonesia, yang kebanyakan kaum Nahdliyin, membanjiri Malaysia untuk bekerja di perkebunan-perkebunan.
Model pembangunan Indonesia lebih banyak mengandalkan utang dan patuh pada IMF seperti yang terjadi di sebagian negara Latin Amerika dan Afrika, sehingga sulit untuk maju. Sedangkan dalam penanganan masalah utang sangat tidak kreatif.
Rizal Ramli mencontohkan salah satu cara kreatif yang dilakukannya dalam menangani masalah utang saat menjadi menteri keuangan di era Presiden Gus Dur, yaitu dengan cara melakukan negosiasi atau restrukturisasi utang dengan
debt swap, debt to nature swap atau skema lainnya.
Dalam diskusi yang berlangsung akrab dan diselingi canda itu Rizal Ramli juga mengutip pernyataan KH Thoha Yusuf Zakariya yang bernada guyon tetapi mengandung spirit dalam perjuangan kehidupan:
“Di Bondowoso kereta api disebut sepur. Di atas sepur ada kondektur. Daripada mati di tempat tidur, lebih baik mati di medan tempur …”.
Penulis adalah wartawan senior