Integritas Mahkamah Konstitusi (MK) dipertanyakan, lantaran putusan perkara uji materiil norma sistem pemilihan legislatif (Pileg) bocor di publik, dan disinyalir hasilnya mengubah dari terbuka menjadi tertutup.
"Kalau MK sampai membatalkan atau mengubah itu tingkat kekeliruan yang besar," ujar pengamat politik Ray Rangkuti, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (30/5).
Terlepas dari kebenaran informasi putusan yang bocor, akademisi jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai MK tidak berhak menerima gugatan uji materiil norma sistem Pileg dalam UU Pemilu.
"MK punya potensi tidak adil dalam proses persengketaan (uji materiil norma dalam Undang-Undang). Pakai standar ganda," tuturnya.
Menurutnya, banyak contoh kasus yang bisa menggambarkan kekeliruan MK dalam memutus satu perkara uji materiil undang-undang.
"Misalnya soal
presidential threshold, selalu mereka tolak karena dianggap itu
open legal policy. Sudah puluhan kali itu ditolak," katanya menjabarkan.
Oleh karena itu, Ray Rangkuti merasa aneh jika MK mengubah sistem Pileg menjadi tertutup lewat putusan uji materiil undang-undang.
"Karena sebetulnya mau terbuka atau tertutup itu pilihan. Sebab prinsip di pemilu kita itu bukan terbuka tertutupnya, tetapi proporsional atau distrik. Seharusnya disitulah masuknya MK, mana yang lebih tepat," urainya.
"Sekarang kan kita pakai sistem proporsional. Model proporsional ada dua, terbuka dan tertutup. Jadi itu turunan sebetulnya. Karena itu turunan, maka sudah masuk wilayah
open legal policy," demikian Ray Rangkuti menambahkan.