PERTAMA-tama perlu saya jelaskan bahwa tulisan ini dibuat bukan untuk mendukung salah satu calon presiden yang telah diusung oleh partai. Tulisan ini hanya sebuah bentuk mengingatkan seluruh rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan sesuai dengan pembukaan, pasal demi pasal UUD 1945 serta undang-undang dan yang terpenting dari itu adalah pemerintah negara Republik Indonesia harus berasaskan Pancasila.
Saya mencoba memberanikan diri untuk menuliskan sesuai dengan pengalaman dalam berpolitik maupun sebagai rakyat, bahwa sistem pemilu, dan pemerintahan negara yang tidak sejalan dengan pembukaan, pasal demi pasal UUD 1945 serta Pancasila.
Dengan harapan rakyat sadar sebagai pemegang kedaulatan, sehingga mengambil sebuah sikap yang positif dalam Pemilu maupun Pilpres 2024 demi sebuah perubahan untuk mewujudkan cita-cita kita bersama yang telah disepakati di awal kemerdekaan.
Bahwa pada rezim reformasi yang mengatur negara serta menentukan calon presiden hanya dimiliki oleh beberapa orang. Sementara rakyat sebagai pemilik kedaulatan hanya dipaksa untuk memilih calon yang telah ditetapkan dengan segala konsekuensi yang ada.
Hal tersebut mengakibatkan keadilan dan kemakmuran hanya dinakmati oleh segelintir orang.
Agar tidak menjadi sebuah pepesan kosong, alangkah baiknya tulisan ini dilengkapi dengan sebuah fakta dalam perhelatan pemilu yang sudah dilaksanakan.
Menjelang PIlpres 2024 beberapa partai telah menetapkan capresnya untuk bertanding untuk merebut kursi preside.
Penentuan capres yang dilakukan oleh partai tidak ada ubahnya seperti penentuan calon Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, di mana partai pendukung Joko Widodo sebagai presiden dipaksakan untuk mendukung calon gubernur keinginan presiden, yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Pada Pilkada DKI Jakarta terjadi pertarungan tiga kekuatan besar yaitu, kubu Joko Widodo yang mencalonkan Ahok-Djarot, kubu SBY mencalonkan AHY-Sylviana Murni, kubu Prabowo mencalonkan Anies-Sandi.
Dari ketiga kubu tersebut yang paling kuat menurut survei dan pasar adalah kubu Joko Widodo. Hal yang wajar sebab Ahok memiliki dukungan kuat dari pemerintah, partai, dan finansial yang banyak.
Bahkan pasar taruhan atau ahli survei mengatakan kubu Ahok akan dengan mudah memenangkan Pilkada DKI Jakarta.
Kenyataannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, kubu Prabowo yang mengusung Anies-Sandi menjadi pemenang Pilkada DKI dengan perolehan suara 58%.
Padahal segala cara dilakukan untuk memenangkan Ahok, bahkan segala dugaan kecurangan pun telah dilakukan. Panggung untuk merayakan kemenangan Ahok pun telah disediakan di beberapa tempat. Ternyata kubu Joko Widodo kalah mutlak dengan kubu Prabowo.
Tuhan Yang Maha Kuasa menunjukkan kekuasaan dan keillahian-Nya kepada seluruh rakyat Indonesia, terkhusus rakyat Jakarta. Walaupun akhirnya diklaim beberapa kelompok.
Atas kemenangan Anies-Sandi, kelompok yang kalah menggiring dan melempar sebuah opini kepada masyarakat bahwa kemenangan yang diraih kubu Prabowo disebabkan oleh politik identitas.
Tujuannnya rakyat terpengaruh dengan isu yang dilempar agar Prabowo sebagai pengusung Anies-Sandi dapat dengan mudah dikalahkan pada Pilpres 2019.
Pertarungan Pilpres 2019 antara Joko Widodo-Maaruf Amin yang didukung oleh enam partai dengan Prabowo-Sandi yang didukung Gerindra dan PKS menjadi sebuah pemilihan yang tidak beradab dan adil, di mana pada Pilpres 2019 sebanyak 894 petugas pemilu meninggal dunia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak melakukan penyelidikan atas meninggalnya petugas pemilu tersebut. Di samping itu, KPU mengeluarkan sebuah aturan melalui PKPU No 5 Tahun 2019 untuk menetapkan pemenang Pilpres yang bertentangan dengan UUD 1945 Pasal (6A).
Mahkamah Konstitusi yang diharapkan bersikap adil mengambil keputusan terhadap pengkhinatan yang dilakukan KPU terhadap Pasal (6A) UUD 1945 justru mengamini pengkhianatan KPU dengan membuat suatu putusan, bahwa apabila hanya ada dua calon, maka 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia tidak berlaku.
Seharusnya Mahkamah Konstitusi sesuai dengan fungsi dan tugasnya tidak terpengaruh dengan politik sehingga memutuskan KPU untuk melakukan pilpres ulang, serta memaksa MPR menentukan sikap atas kesalahan yang dilakukan pada Pasal 6A ayat (4) yang bertentangan dengan ayat (3).
Atas kecurangan dan pengkhianatan terhadap UUD 1945, maka KPU menetapkan Joko Widodo sebagai pemenang Pilpres 2019.
Menjelang Pilpres 2024, skenario, pola dan strategi pada Pilkada DKI 2017 akan terulang, dimana kubu Joko Widodo dengan Megawati yang mengusung Ganjar Pranowo akan memaksakan kehendak untuk memenangkan jagoannya, yang berhadapan dengan kubu Prabowo, dan Surya Paloh, Jusuf Kalla yang mengusung Anies sebagai Capres.
Joko Widodo memaksakan kehendaknya melalui partai pendukung pemerintah untuk mendukung Ganjar sebagai capres tahun 2024.
Padahal awalnya PDIP enggan mencalonkan Ganjar sebagai capres sebab Megawati sebagai Ketua Umum PDIP ingin keluar dari bayang-bayang Joko Widodo serta kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Namun Joko Widodo melalui menterinya memukul PDIP melalui kasus Rp 349 triliun, kasus penggelapan pajak serta kasus ekspor import emas yang dilakukan PT Antam.
Dalam kasus tersebut, terbongkar pada tahun 2021 melalui kasus impor emas dari Singapura senilai Rp 47,1 triliun yang mana kala itu Arteria Dahlan yang mewakili PDIP di Komisi III DPRI mendesak Kejaksaan Agung untuk membongkar dan menuntaskan kasus impor emas tersebut.
Namun entah kenapa kasus ekspor-impor emas yang terjadi mulai tahun 2014-2016, 2017-2019, serta 2019-2021, yang patut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 189 triliun lenyap.
Kalau disimak pernyataan politikus PDIP Johan Budi pada saat rapat dengar pendapat dengan Kemenkeu, PPATK, serta Komite TPPU yang diketuai Mahfud MD pada tanggal 11/4/2024, yang menyatakan, “Minggu depan isu 349 di Kemenkeu juga akan hilang karena isu Capres”.
Apakah karena kebetulan pada tanggal 21/4/2024 PDIP mengumumkan Capres PDIP Ganjar Pranowo.
Yang pasti pencapresan Ganjar mempengaruhi penuntasan kasus, ekspor-impor emas, impor cairan anoda serta tambang ilegal emas yang diduga merugikan negara sebesar Rp 189 triliun.
Komite TPPU yang dikomandoi Mahfud MD membentuk Satgas untuk penuntasan kasus tersebut yang masa tugasnya berakhir tanggal 31 Desember 2023, juga menjadi polemik disebabkan melibatkan lembaga negara yang terlibat dalam kasus tersebut.
Kalaupun skenario Pilkada DKI 2017 yang digunakan Joko Widodo dengan koalisinya menghadapi lawan politik pada Pilpres 2024, bukan berarti Anies yang menjadi pemenang Pilpre 2024.
Sebab capres yang ada belum final selama belum didaftarkan ke KPU. Apalagi ada partai yang berani mengusung calon baru yang lebih baik dan bagus
track record-nya dari capres yang sudah ada, serta sesuai dengan harapan seluruh rakyat. Akan lebih besar peluang calon tersebut memenangkan Pilpres 2024.
*Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I)