Presiden Joko Widodo di wilayah calon IKN/Net
SIKAP kenegarawanan Presiden Joko Widodo sedang ramai dipergunjingkan publik. Ini lantaran dugaan adanya cawe-cawe presiden dalam menentukan pasangan calon presiden yang akan tampil pada Pilpres 2024 mendatang. Dugaan muncul setelah Jokowi pada Selasa lalu (2/5) mengumpulkan 6 ketua umum partai politik di Istana Merdeka, Jakarta.
"Bukan cawe-cawe. Wong itu diskusi saja kok (disebut) cawe-cawe. Diskusi," jawab Jokowi menyangkal dirinya disebut ikut campur urusan politik pilpres.
Namun demikian, ada yang menggelitik dalam pertemuan itu. Yaitu tidak diundangnya Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Padahal, Nasdem masih bagian dari koalisi pemerintah. Masih ada 3 menteri Nasdem di dalam kabinet Jokowi. Sehingga menjadi aneh jika Jokowi menyebut bahwa pertemuan itu bukan cawe-cawe melainkan hanya untuk diskusi. Jika memang diskusi untuk memperbaiki kerja-kerja pemerintah, maka semua perwakilan koalisi pasti turut diundang.
“Nasdem itu, ya kita harus bicara apa adanya, kan sudah memiliki koalisi sendiri dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu kan juga ingin membangun kerja sama politik yang lain," kata Jokowi.
Jawaban Jokowi ini seolah mengonfirmasi bahwa memang pertemuan itu ditujukan untuk membahas Pilpres 2024. Bukan untuk diskusi sebagaimana yang jadi alasan pertama Jokowi. Mantan walikota Solo tersebut bahkan secara tegas menyampaikan sikap bahwa Nasdem sudah tidak lagi searah dalam menatap pilpres.
Nasdem dianggap mbalelo karena mendirikan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden. Anies Baswedan sendiri dianggap sebagai sosok antitesa Jokowi. Sementara anggota KPP selain Nasdem adalah partai-partai yang berada di luar lingkaran pemerintah, yaitu PKS dan Partai Demokrat. Sehingga jelas bagi Jokowi bahwa Nasdem sudah tidak lagi tegak lurus mengawal agenda-agendanya ke depan.
Kini muncul pertanyaan, apa yang mendasari Presiden Jokowi sebegitu tega “membuang” Nasdem. Padahal, Nasdem adalah partai pertama yang menyatakan dukungan untuk Jokowi pada Pilpres 2019 lalu, sekalipun Jokowi memang identik dengan predikat sebagai petugas partai banteng moncong putih.
Menjaga Megaproyek Tidak Mangkrak
Presiden Jokowi memang ambisius dalam membangun infrastruktur negeri. Dia tidak puas hanya jalan tol saja. Ada beberapa proyek-proyek mercusuar yang turut dibangun oleh Jokowi, seperti pembangunan bandara, kereta cepat, hingga pemindahan ibukota. Proyek-proyek ini terbilang ambisius lantaran dilakukan di saat ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Apalagi setelah ada guncangan pandemi Covid-19.
Khusus proyek ibukota negara (IKN) baru, Jokowi tampak sangat terobsesi. Pasalnya, megaproyek ini tidak masuk dalam kampanye Jokowi tahun 2019, tapi kemudian dikebut. Bahkan proyek tetap dilanjut sekalipun Covid-19 mengguncang ekonomi dalam negeri dan mengakibatkan utang menggunung. Jokowi juga tidak goyah sekalipun para investor mulai mundur teratur.
Atas dasar itu juga, menjadi penting bagi Jokowi untuk menjaga proyek-proyek yang digagas tetap berjalan usai dirinya melepas jabatan presiden. Sehingga, para calon yang muncul perlu dipastikan, apakah akan meneruskan proyek atau melakukan perubahan gagasan.
Memastikan Karir Politik Keluarga Berlanjut
Alasan selanjutnya, Jokowi tentu ingin memastikan karir politik keluarganya tetap moncer. Hal itu lebih mudah dipastikan jika presiden terpilih sejalan atau menjadi kepanjangan tangan dari Jokowi. Sehingga Jokowi punya posisi tawar tinggi kepada presiden terpilih untuk membantu kelancaran anak dan menantunya.
Karir politik anak dan menantu Jokowi masih panjang. Umur Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution masih kepala tiga. Sementara si bungsu, Kaesang Pangarep sudah menyatakan adanya niat untuk bergabung ke dunia politik. Artinya, kerja-kerja Jokowi harus ekstra, mengingat selama ini dia bukan siapa-siapa di internal partai.
Selain megaproyek dan karir politik, tentu masih banyak lagi pertimbangan yang dimiliki Jokowi. Bisa saja Jokowi ingin memastikan penggantinya tetap berhubungan baik dengan negara besar yang dianggap telah membantu Indonesia selama 10 tahun ke belakang. Bisa juga agar keluarga terhindar dari tudingan korupsi yang sewaktu-waktu bisa dilancarkan oleh lawan politik.
Dengan beragam alasan di atas, maka menjadi pertanyaan apakah memang sulit bagi Jokowi untuk bisa bersikap netral atau menjadi negarawan dalam Pilpres 2024 mendatang. Ini karena banyak hal-hal rawan yang perlu dijaga agar tidak berbuah celaka.