Berita

Presiden Joko Widodo/Net

Publika

Presiden Diskriminatif, Langgar Etika

OLEH: RADHAR TRIBASKORO*
SENIN, 08 MEI 2023 | 12:23 WIB

PRESIDEN Joko Widodo berdalih bahwa selain sebagai pejabat publik, ia juga seorang politikus. Dengan dalih itu ia membela diri atas rapat/diskusi dengan 6 partai koalisi pemerintah (2/5/2023).

Widodo tidak melibatkan partai koalisi pendukung Anies Baswedan dalam diskusi itu karena menurutnya itu "koalisi musuh". Diskusi politik Widodo hanya diselenggarakan untuk "koalisi teman". Dalam hal ini adalah koalisi parpol pendukung bacapres Prabowo Subianto dan bacapres Ganjar Pranowo.

Dengan demikian diskusi politik Presiden Widodo dan 6 partai politik di Istana Negara jelas tidak didesain untuk kepentingan negara-bangsa (semua warga negara), tetapi demi kepentingan politik sepihak. Apakah boleh? Apakah tidak melanggar etika bernegara?

Lepas dari itu, suatu entitas legal di bawah hukum NKRI, yaitu pribadi Anies Baswedan dan 3 parpol yang mendukung pencapresannya, pantaskah diperlakukan Presiden Widodo secara tidak setara dengan bacapres dan parpol lainnya?

Bolehkah dugaan bahwa Anies akan membatalkan semua program dan kebijakan yang dijalankan Widodo sekarang ini dipergunakan untuk membenarkan perlakuan tidak setara itu?

Etika Bernegara


Bicara etika semua orang mudah mengerti. Sebab etika itu intuitif, tidak perlu teori rumit untuk memahaminya.

Secara intuitif, etika adalah masalah adab, fatsoen untuk selalu memperlakukan sesama dengan baik dan adil. Misalnya, bila seseorang mengucapkan salam kepada Anda maka Anda wajib menjawab dengan salam yang baik, bahkan lebih baik.

Bila Anda seorang pemimpin dan mewajibkan pengikut Anda mematuhi kebijakan Anda maka Anda wajib memperlakukan semua pengikut Anda sama baiknya, sama adilnya. Begitu bukan?

Dalam hal ini saya ingin mengoreksi pernyataan Presiden Widodo. Dia bukan pejabat publik biasa, tetapi seorang Kepala Negara. Widodo juga bukan politikus biasa, tetapi politikus yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan.

Sebagai Kepala Negara Widodo mewajibkan seluruh rakyat mematuhi hukum negara. Sementara sebagai Kepala Pemerintahan mewajibkan seluruh rakyat  bayar pajak dan patuh kepada kebijakan, Perpres, Keppres dan Inpres yang dia bikin.

Jadi, dengan kedua kedudukannya itu Widodo mewajibkan seluruh rakyat patuh kepada dirinya. Etika bernegara dalam hal ini mewajibkan Widodo melayani dan memperlakukan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan setara. Dengan kata lain, Presiden Widodo tidak boleh diskriminatif. Kebijakan, tindakan, ucapan, gestur presiden jangan bisa ditafsirkan sebagai "berat sebelah" atau mendahulukan seseorang atau kelompok lain (parpol) lebih dari yang lainnya.

Dalam hubungan ini, presiden berada dalam domain negara, dan oleh karenanya terikat kepada etika kenegarawanan.

Etika kenegarawanan tidak berlaku ketat kepada anggota DPR walau mereka adalah politikus sekaligus pejabat publik. Anggota DPR secara definitif adalah wakil rakyat, namun secara substantif wakil anggota dan konstituen partainya. Anggota DPR terikat kepada etika institusi dan partai politiknya.

Akan tetapi jika seorang anggota DPR diangkat menjadi menteri oleh presiden maka ia masuk ke ranah “domain negara”. Sebab sebagai anggota kabinet (pemerintahan) keputusan dan kebijakannya mewajibkan seluruh rakyat mematuhinya. Menteri dan pejabat setingkat, dengan demikian, terikat kepada etika kenegarawanan.

Nah, jika menteri saja harus berperilaku sebagai negarawan, taat pada etika kenegarawanan, apalagi presiden.

Petugas Partai


Apakah menteri dan presiden dapat dianggap sebagai petugas partai? Kita tidak bisa menerima presiden sebagai "petugas partai" bila itu berarti presiden boleh menggunakan semua kuasanya, semua fasilitas yang diberikan oleh negara, demi memberi keuntungan semata kepada partainya saja. Kepada koalisi partainya saja.

Namun kita bisa memaklumi bahwa menteri dan presiden pada umumnya membangun visi misi dan kepemimpinannya di partai politik. Kita memaklumi "petugas partai" sebagai orang yang mengemban misi dan visi yang ia peroleh dari kehidupannya di partai politik. Misi dan visi itu tentu berkenaan dengan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.

Presiden Diskriminatif


Jadi, dalam hal apa seorang kepala negara dan kepala pemerintahan boleh bertindak diskriminatif terhadap partai-partai  politik dan bakal calon-calon presiden? Apakah partai dan tokoh politik itu tidak patuh kepada negara? Apakah orang yang akan memilih mereka nanti tidak membayar pajak kepada negara?

Menurut hemat saya, tidak ada alasan Widodo mendiskriminasi Anies, pengusung dan pendukungnya. Bukankah mereka juga rakyat Indonesia yang wajib ia lindungi.

Lebih dari itu, tidak ada alasan apapun untuk mencurigai bahwa kebijakan pemerintahannya tidak akan dilanjutkan oleh presiden yang meneruskan jabatannya. Sebab setiap kebijakan dan program pemerintah pasti diputuskan melalui mekanisme kenegaraan yang baku.

Keputusan itu legal, dalam arti telah menjadi aturan dan hukum yang mengikat semua warga negara. Dalam konteks itu seorang presiden baru secara etika politik wajib meneruskan kebijakan presiden sebelumnya.

Jadi ketakutan Widodo kepada Anies terkait kesinambungan programnya sangat tidak berdasar. Lalu dari mana asal ketakutan Widodo itu?

Ketakutan itu muncul dari kecurigaan. Kecurigaan itu mungkin terkait dengan kebijakan radikalisme rezim Widodo. Kebijakan itu menjadikan semua orang yang tidak mendukung Widodo sebagai musuh alias kelompok lawan.

Anies Baswedan yang menjadi bacapres tanpa restu Widodo karena itu dianggap sebagai musuh, yang dicurigai bakal balas dendam.

Joko Widodo merasa tidak aman dan tidak nyaman dengan pencapresan Anies. Ini artinya Widodo dihantui dan dimakan bayangannya sendiri.

*Penulis adalah aktivis pergerakan Pro-Demokrasi, inisiator KPU WatchDog


Populer

KPK Usut Keterlibatan Rachland Nashidik dalam Kasus Suap MA

Jumat, 25 Oktober 2024 | 23:11

Pemuda Katolik Tolak Program Transmigrasi di Papua

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:45

Akbar Faizal Sindir Makelar Kasus: Nikmati Breakfast Sebelum Namamu Muncul ke Publik

Senin, 28 Oktober 2024 | 07:30

Pilkada Jateng dan Sumut Memanas Buntut Perseteruan PDIP Vs Jokowi

Minggu, 03 November 2024 | 13:16

Ketum PITI Sayangkan Haikal Hasan Bikin Gaduh soal Kewajiban Sertifikasi Halal

Kamis, 31 Oktober 2024 | 20:01

Inilah Susunan Dewan Komisaris IPC TPK Baru

Jumat, 01 November 2024 | 01:59

Komandan IRGC: Serangan Balasan Iran Melampaui Ekspektasi Israel

Jumat, 01 November 2024 | 12:04

UPDATE

3 Komisioner Bawaslu Kota Blitar Dilaporkan ke DKPP

Selasa, 05 November 2024 | 03:58

Menteri Hukum Tegaskan Jakarta Masih Ibukota Negara

Selasa, 05 November 2024 | 03:40

Catalunya Gantikan Valencia Gelar Seri Pamungkas MotoGP 2024

Selasa, 05 November 2024 | 03:22

Demokrat Bentuk Satgas untuk Amankan Pilkada di Jakarta, Jabar, hingga Banten

Selasa, 05 November 2024 | 02:57

MAKI: Debat Harusnya untuk Jual Program, Bukan Saling Menyerang

Selasa, 05 November 2024 | 02:22

Dubes Mohamed Trabelsi: Hatem El Mekki Bukti Kedekatan Hubungan Indonesia dan Tunisia

Selasa, 05 November 2024 | 02:09

Polisi Gelar Makan Siang Gratis untuk Siswa Berkebutuhan Khusus

Selasa, 05 November 2024 | 01:54

Ancelotti Minta LaLiga Dihentikan

Selasa, 05 November 2024 | 01:36

Pelajar yang Hanyut di Sungai Citanduy Ditemukan Warga Tersangkut di Batu

Selasa, 05 November 2024 | 01:21

Pendidikan Berkualitas Kunci Pengentasan Kemiskinan

Selasa, 05 November 2024 | 00:59

Selengkapnya