Surat Utang Negara Mayoritas Dimiliki Bank Indonesia dan Perbankan Petanda Suramnya Masa Depan Global Bond RI Utang yang berasal dari SUN Domestik penyumbang terbesar 58,4% dimana jenis ini sebagian dimiliki asing dan sebagian dimiiliki entitas domestik. Total kepemilikan asing dalam utang Indonesia per Maret 2023 adalah 14,61 persen dan entitas domistik pembeli SUN mayoritas adalah Bank Indonesia 26 persen dan perbankan domestik 24,5 persen.
Mayoritas kepemilikan SUN oleh Bank Indonesia dan perbankan domestik menunjukkan surat berharga negara tersebut tidak cukup aman dan tidak cukup profitable dipandang investor internasional. Mayoritas SUN dimiliki Bank Indonesia karena BI membeli SUN (26 persen total utang) karena ada paksaan "skema burden sharing 2020-2022" lalu.
Utang Tumbuh, Kesejahteraan Per Kapita Turun Kecepatan pertumbuhan utang dalam 25 tahun reformasi (1999-2023) adalah 30 persen/tahun, sementara peningkatan PDB perkapita dalam kurun yang sama hanya 8,55%. Ini menunjukkan selama 25 tahun reformasi penambahan utang tidak sebanding penambahan kesejahteraan perkapita masyakarat Indonesia.
Lantas untuk apa Rezim Reformasi berutang bila kesejahteraan rakyat terabaikan?
Patut diingat berdasarkan data BPS tentang PDB perkapita, di zaman orde baru 1971-1998 PDB perkapita meningkat tajam dari Rp 5.074.517 (1966) naik menjadi Rp 18.943.101 (1998) atau meningkat secara tahunan 12% tiap tahun dalam 32 tahun berkuasanya orde baru.
PDB perkapita reformasi 1997-2022. dari Rp 6,8 juta (2000) menjadi Rp 62,2 juta (2021) atau meningkat Rp 55,4 juta dalam 21 tahun dengan secara rata-rata tumbuh 8,55%.
Pemerintahan 2024-2029 Tidak Sanggup Meningkatkan Kesejahteraan karena Debt TrapSelama periode 25 tahun Reformasi, Indonesia terjebak dalam jeratan utang (
debt trap) dimana porsi kesejahteraan sosial terus tergerus karena untuk membayar bunga dan pokok utang yang makin besar tersebut.
Bayangkan APBN tiap tahun yang digunakan untuk kesejahteraan sosial hanya 15% belanja negara, sementara untuk membayar utang pokok dan bunga mencapai 30% belanja. Sisanya untuk belanja SDM dan ASN.
Dengan komposisi seperti ini, Pemerintah 2024-2029 kedepan tidak akan banyak menyelesaikan persoalan kesejahteraan, padahal ekonomi 2024-2029 diwarnai isu ketimpangan dan ketidakmerataanya pendapatan di mana intervensi negara akan sangat diperlukan.
Sayangnya, potensi negara untuk melakukan intervensi ekonomi sudah dilumpuhkan akibat akumulasi utang.
Terpuruknya kesejahteraan dimasa depan juga terlihat dari data ketimpangan lahan dan ketimpangan ekonomi gini rasio.
Pada September 2021, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,381. Bandingkan tahun 1996 (akhir orde baru) gini rasio lebih rendah atau lebih merata pengeluaran penduduk, yaitu 0.36. Ini menunjukkan reformasi hanya memperparah ketimpangan ekonomi masyarakat.
Ketimpangan ekonomi Indonesia terburuk tahun 2021 versi Credit Suisse yaitu 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Laporan dikeluarkan oleh Survei Lembaga Keuangan Swiss, Credit Suisse. Ketimpangan terburuk di Indonesia adalah yang ke-4 di dunia.
Jalan Keluar: Butuh Ekonomi Arah Bangsa BaruSebagai ekonom kebijakan publik dan aktivis mahasiswa pada reformasi 1999, kami memandang bahwa perbaikan ekonomi selama era 25 tahun Reformasi sudah kehilangan makna.
Risiko
debt trap makin besar, tidak efektifnya APBN untuk menciptakan kesejahteraan, PDB perkapita terus turun, investasi infrastruktur tidak menguntungkan ekonomi dan praktik korupsi pejabat dan aparatur pemerintahan begitu marak dan masif menambah kesimpulan bahwa ARAH REFORMASI BANGSA tidak sesuai lagi dengan yang dicita-citakan.
Bila kesejahteraan warga sudah diabaikan, negara pun akan rentan dari serangan eksternal.
Bangsa ini benar-benar butuh kebijakan ekonomi baru terkait arah bangsa ke depan. Bila tidak siapa pun Presiden 2024-2029 kedepannya, entah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, maupun Prabowo Subianto tidak akan melakukan banyak perubahan kesejahateraan karena
debt trap ulah pemerintahan yang berutang massal tanpa tidak dipikirkan matang-matang.
Penulis adalah Aktivis dan Ekonom Kebijakan Publik