PUASA sebagai ibadah madhlah merupakan satu kewajiban yang rutin ditunaikan seluruh umat muslim tanpa terkecuali. Sebagaimana dapat kita baca dalam Surah Al-Baqarah 183.
Diujung ayat 183 itu, kita membaca kata muttakin (takwa), sebagai capaian bagi mereka yang melaksanakan puasa. membentuk pribadi taqwa tentu tidak sekali jadi, maka setiap tahun berpuasa menurut ulama sebagai “olah jiwa tahunan†yang harus membentuk kita semakin baik, semakin bertaqwa.
Dalam terminologi para ulama, Takwa ialah
imtisalu awamirillah, wajtinabu nawakhihi. Artinya Takwa adalah menjalakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Dalam bulan Puasa, setiap Muslim dilarang melakukan beberapa hal, yang diluar bulan puasa sebenarnya merupakan pekerjaan yang sangat dianjurkan bagi umat muslim. Seperti makan, minum dan menggauli istri, semua itu hal-hal baik yang dilarang. Selama bulan puasa hal-hal baik itu kita tidak lakukan di waktu siang, semata-mata untuk mengharapkan Ridho Allah SWT.
Maka kita bisa berasumsi, siapapun yang bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah maka dia akan mampu menahan diri-nya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.
Karena itu, bagi orang yang berpuasa, takwa itu ibarat buahnya, hasil dari buah itu dapat kita lihat dalam pribadi setiap manusia. Lalu seperti apa orang yang bertakwa itu?
Orang yang bertakwa akan mendapatkan sikap “furqanâ€. Sikap furqan itu adalah sikap yang tegas membedakan antara yang hak dan yang batil.
Dalam surah al-Anfal ayat 29 Allah berfirman:
ya ayyuhalladzina amanu intattakullah yaj allakum furqona “. (Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan).
Sikap Furqan itu, adalah sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, yang halal dan yang haram, yang salah dan yang benar adalah cerminan dari pribadi yang bertakwa.
Bagi siapa yang bertakwa akan memiliki sikap yang tegas terhadap segala bentuk kemungkaran, kezaliman dan kemaksiatan. Tidak samar-samar bagi orang yang bertakwa mana yang hak dan yang bathil. Tegas dan jelas yang hak adalah hak yang bathil adalah batil.
Orang yang bertakwa akan dekat dengan Allah. Siapapun yang dekat dengan Allah ia tidak akan menyimpang, tidak akan korupsi, ia tidak akan menyeleweng dan melakukan hal-hal buruk lainnya, hatta ia memiliki peluang (berbuat buruk).
Dengan puasa akan terjadi gerakan spiritualitas tertinggi, di mana setiap muslim akan terjaga hidupnya, terjaga dari segala dosa dan keburukan. Itulah buah pertama bagi orang yang berpuasa, yaitu diberi sikap furqan.
Selain sikap Furqan, dalam Surah Al-A’raf ayat 96, seorang yang bertakwa akan diberi ‘barakatin’ (berkah yang banyak sekali) yang datang dari langit dan bumi. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tapi kalau mereka mendustakan ayat kami, ‘
faahadznahum bima kanuu yaksibun’ kami akan azab mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri.
Konteks ayat di atas tidak sebatas pada individu, melainkan mencakup seluruh penduduk dalam sebuah negara. Apabila mereka bertakwa maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi, tetapi apabila mereka ingkar, maka Allah akan mengazab negeri itu disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri.
Karena itu, Ketakwaan tidak hanya dalam konteks individu tetapi juga dalam konteks kebangsaan perlu di implementasikan secara nyata dan kolektif oleh semua warga negara.
Sebuah bangsa yang bertakwa akan menjadi bangsa
baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur, yaitu bangsa yang dilimpahkan oleh keberkahan dan keberkahan itu akan datang dari langit dan bumi.
Bagaimana dalam konteks kebangsaan kita sekarang ini? Bagi saya bangsa kita makin jauh dari kata takwa itu.
Indonesia memang negara muslim terbesar di dunia, tetapi dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara sekuler.
Produk-produk hukum yang dibuat jauh dari kata beriman dan bertakwa itu. Undang-undang, dan peraturan di bawahnya cukup mengambil jarak dengan syariat Islam. Meskipun dalam deklarasi kemerdekaan, kdapat kira baca di pembukaan UUD 1945, ada kalimat ‘atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa’, namun kalimat itu tidak diimplementasikan dalam kebijakan nyata bagi rezim yang berkuasa.
Sehingga ketika produk-produk hukum yang dilahirkan hanya menghasilkan ketimpangan, ketidakadilan dan berbagai persoalan lainnya, yang jauh dari kata iman dan takwa.
Kita lihat dengan mata telanjang hari-hari ini, ketidakadilan terjadi kian nyata, korupsi, penyuapan, perampokan uang negara, terjadi begitu dahsyat. Namun apa boleh buat, setiap kejahatan yang terjadi justru dibiarkan secara terus menerus tanpa ada upaya untuk memotong mata rantainya.
Ditambah lagi dengan moralitas penguasa yang kian hancur, kebohongan dan kemunafikan kian merajalela. Mirisnya, elite politik mempertontonkan kelakuan buruk itu. Ini seperti telah terjadi upaya mengarah kepada penghancuran total moralitas kepemimpinan.
Supremasi hukum tidak jalan, tetapi supremasi elit-elit justru semakin kuat. Banyak sekali terjadi kriminalisasi, persekusi, intoleransi terhadap kelompok agamawan khususnya Islam dari kelompok sekuler, memperhebat kehancuran moralitas bangsa.
Singkatnya, bangsa ini sudah mulai kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Kata-kata ‘atas berkat rahmat Allah’ hanya sebatas pada teks, tidak dijadikan sebagai dasar fundamental untuk membangun negara yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur.
Artinya, bangsa ini kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab, bangsa menjadikan agama sebagai panduan moralnya. Inilah yang menyebabkan kita selalu mengalami berbagai masalah, dari skandal ke skandal yang tidak pernah berakhir.
Belum lagi bencana dan musibah yang terjadi secara terus menerus: banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran, tanah longsor dan lain-lain terjadi setiap saat. Bangsa ini tiada henti-hentinya didera oleh berbagai bencana.
Sebagai orang yang beriman setiap musibah dan bencana kita percaya bahwa itu azab, disebabkan karena perbuatan tangan kita sendiri. Utamanya kita tidak menjadikan syariat Agama sebagai pondasi bernegara.
Dalam bulan puasa seperti sekarang ini, saatnya untuk merenungi kembali sebagai individu, lebih khususnya sebagai bangsa dan negara. Kita terlalu jauh meninggalkan syariat sebagai panduan moral dalam kehidupan bernegara, syariat telah dilupakan, sementara hukum-hukum liberal dan sekuler telah menjadi panduan utama kita.
Apabila bangsa dan negara itu meninggalkan ayat-ayat dalam kitab suci sebagai panduan moral, maka Allah Berfirman: ‘
fa ahadzanahum Bimaa kanu yaksibun’. Kami azab mereka.
Maka, momentum Ramadhan ini kita harus kembali membangun semangat religiositas kita sebagai sebuah bangsa yang beriman, bangsa yang memiliki sikap tegas dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, dan melawan segala kemungkaran dan kedzaliman. Ketegasan itulah disebut sebagai sikap furqan.
Dan kita harus kembali kepada ayat-ayat suci untuk membangun bangsa dan negara, sehingga kita bisa keluar dari berbagai persoalan yang kita hadapi ini. Sebagai sebuah negara yang kaya, seharusnya Indonesia menjadi negara maju, tetapi justru yang terjadi sebaliknya, Indonesia menjadi negara yang miskin dan kumuh.
Penyebabnya; pertama, karena elit-elit politik tidak memiliki sikap furqan dan kedua, mereka mengambil jarak dengan agama, khususnya Islam. Sehingga pada akhirnya bangsa ini kehilangan keberanian untuk menegakkan kebenaran dan kehilangan peta jalan menuju negara yang makmur.
Karena itu puasa harus menjadi medium bagi setiap orang untuk memproyeksikan dirinya secara terus menerus menjadi
uswah hasanah (suri tauladan yang baik). Dan puasa juga menjadi medium memperbaiki bangsa dan negara dari berbagai sifat ketamakan san keserakahan, sehingga tidak ada lagi korupsi dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Dengan demikian kita akan bangkit menjadi sebuah masyarakat utama atau masyarakat teladan, dan bangsa yang makmur. Sekian.
*
Penulis adalah Ketua Umum Masyumi