Diskusi dan bedah buku karya Ahmad Gaus berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google†di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten/Ist
Riset-riset kuantitatif atas fenomena agama saat ini semakin penting dilakukan untuk proses pendewasaan hidup beragama. Pasalnya, belakangan muncul tendensi kegairahan beragama yang meningkat tajam, namun lebih mengedepankan sikap emosional ketimbang sikap rasional.
Begitu dikatakan akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Faisal Nurdin Idris dalam diskusi dan bedah buku karya Ahmad Gaus berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google†di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (14/4).
Faisal menjelaskan, apa yang dilakukan Denny JA belakangan dengan menampilkan data-data yang buram dalam kehidupan agama, sejatinya bukan sekadar data tetapi seruan untuk berbuat sesuatu berdasarkan data itu.
Misalnya, kata dia, data bahwa di negara-negara yang masyarakatnya menganggap agama itu sangat penting justru tingkat korupsinya sangat tinggi, indeks pembangunan manusianya sangat buruk, tingkat kesejahteraan rakyatnya sangat rendah.
“Hasil riset seperti ini kan sebenarnya penting, pertama untuk introspeksi apa yang salah dengan cara beragama kita selama ini, dan kedua penting bagi pengembangan peran agama itu sendiri di masyarakat,†katanya.
Sementara Ahmad Gaus dalam paparannya, mengajak peserta diskusi untuk memperhatikan kritik Denny JA terhadap dua kecenderungan ekstrem. Pertama, pendekatan tekstual yang menjadikan agama sejenis konstitusi ruang publik yang memaksa orang dengan tafsir tertentu. Kedua, pendekatan yang sama sekali mengabaikan harta kartun agama.
Banyaknya agama di dunia ini, menurut Gaus, bukan membuktikan bahwa manusia membutuhkan banyak agama. Agama, katanya, hanya menunjukkan bahwa manusia yang berbeda-beda membutuhkan agama yang berbeda-beda.
"Sebab tidak mungkin kita membayangkan semua orang di berbagai belahan dunia memeluk agama yang sama. Sedangkan bahasa mereka berbeda. Budaya mereka berbeda. Ras dan bangsa mereka berbeda," terangnya.
Gagasan Denny JA yang patut disambut baik, tambah Gaus, adalah agama merupakan dokumen peradaban yang mesti dihargai. Bahkan mereka yang tidak lagi percaya pada agama, termasuk kelompok ateis, masih dapat menikmati agama sebagai kekayaan kultural, sebagaimana mereka menikmati kekayaan adat istiadat yang berbeda-beda.
“Jadi persoalan manusia dan masyarakat modern bukanlah hidup dengan agama atau tanpa agama, melainkan mengubah persepsi terhadap agama dari dogma menjadi budaya, dari doktrin menjadi peradaban," pungkasnya.