SIKLUS penanaman dan pemeliharaan adalah bagian yang tidak kalah pentingnya dengan dua siklus yang sudah dibahas penulis sebelumnya. Jika dianalisa dari paradigma akuntansi bahwa rangkaian siklus dalam akuntansi beras adalah bagian yang saling terintegrasi, baik dari aspek akuntansi maupun non akuntansi.
Hal yang tidak bisa dijadikan titik buta dalam pandangan akuntansi adalah biaya produksi. Masing-masing siklus memiliki pertimbangan biaya produksi yang berpengaruh terhadap aspek non akuntansi.
Dalam siklus yang ketiga ini biaya produksi dan hasil produksi akan terkait dengan metode penanaman padi, hingga ketersediaan pupuk yang tidak pernah mampu diatasi secara berkelanjutan oleh Kementan beserta
stakeholder terkait.
Mulai dari kelangkaan, harga yang tidak terkendali hingga persoalan distribusi pupuk. Sudah ada sistem, tapi rasa-rasanya belum bisa menjadi solusi yang permanen. Terus saja berulang dari musim tanam ke musim tanam berikutnya.
Tapi sebelumnya, penulis akan mengulas terlebih dahulu soal metode tanam dan pengaruhnya terhadap biaya produksi hingga pergeseran sosiologi pertanian di desa. Paling tidak ada dua metode tanam dalam pertanian padi yaitu tabur dan tanam.
Metode TaburMetode tabur dalam penanaman padi biasanya sangat tergantung dengan kondisi lahan. Biasanya metode ini digunakan pada lahan persawahan tadah hujan. Karena keterbatasan sumber air, maka petani lebih memilih tabur jika lahan sudah siap. Pertimbangannya, agar sawah tidak kering terlebih dahulu karena curah hujan yang tidak stabil.
Ada juga yang menggunakannya karena simpel, hanya butuh satu tahap dalam penanamannya. Nah, dalam metode tabur ada juga yang tabur dengan jarak tertentu secara beraturan, tidak sesimpel dengan tabur biasa. Akan tetapi, kinerja dan produktivitas metode ini bisa menghasilkan beras yang lebih banyak. Pemeliharaannya tergolong lebih mudah dibandingkan tabur bisa.
Sedengkang, tabur biasa selain hasilnya tidak produktif, pemeliharaannya juga lebih sulit. Perbedaan kinerja dan produktivitas metode dipengaruhi oleh tingkat perkembangbiakan padi. Yang ditabur berjarak lebih produktif, yang implikasinya nanti pada hasil panen.
Selain itu, keduanya juga membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak, tentunya akan berpengaruh terhadap kuantitas pupuk yang harus digunakan. Hal ini tentu berkorelasi dengan biaya produksi.
Metode TanamSelanjutnya, metode tanam, yang membedakan dengan tabur adalah tahapannya. Metode tanam ini memiliki dua tahap. Pertama, dibibit dulu dengan tabur di lahan yang lebih sempit, jika sudah berumur antara dua sampai tiga minggu baru kemudian dicabut untuk dipindahkan ke lahan selanjutnya dengan cara ditanam.
Makanya disebut dengan metode tanam sebagai tahap kedua, cara tanamnya miliki jenis yang bervariasi, begitu juga kinerja dan produktivitasnya. Dalam ilmu pertanian padi lebih komprehensif dibahas, pada jarak berapa yang paling ideal sehingga pagi bisa berkembangbiak paling produktif.
Meskipun memiliki dua tahap, tapi pemeliharaan metode tanam dianggap lebih mudah dibandingkan metode tabur. Begitu pula kinerja dan produktivitasnya, oleh ahli pertanian bersepakat bahwa metode ini lebih menjanjikan untuk menghasilkan beras yang lebih besar.
Selain itu, pengendalian hamanya lebih mudah. Tidak membutuhkan insektisida yang lebih banyak dibandingkan metode tabur karena ada ruang di antara sela-sela padi yang sekaligus berfungsi sebagai pengendali hama.
Tapi yang perlu dipahami bahwa kedua metode tersebut sangat tergantung oleh kondisi lahan. Sehingga keduanya masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karenanya, perlu manajemen pertanian dalam pengelolaannya.
Pemeliharaan
Pada siklus pemeliharaan akan sangat terkait dengan pemupukan dan pengendalian hama. Soal penggunaan pupuk, baik kimia dan organik sudah dibahas dalam siklus lahan dan penggarapan. Mulai dari dampaknya terhadap keberlanjutan tanah hingga implikasinya terhadap biaya produksi.
Pada metode tabur, kuantitas pupuk dibutuhkan lebih banyak dibandingkan dengan metode tanam. Artinya, biaya produksi metode tabur lebih besar dibandingkan metode tanam. Namun, kinerja dan produktivitas padinya lebih tinggi metode tanam. Sudah barang tentu poduksi berasnya akan lebih besar.
Apalagi, jika penggunaan pupuknya memakai pupuk organik. Manajemen biaya pupuk akan mampu ditekan untuk mengefisienkan biaya produksi.
Selain itu, metode tabur juga membutuhkan biaya insektisida lebih besar dari pada metode tanam. Intensitas penggunaan insektisida tentu akan berpengaruh terhadap kualitas beras yang dihasilkan. Dalam pandangan
green accounting, pertimbangan kesehatan atas produk yang dihasilkan menjadi salah satu pertimbangan utama.
Sehingga, penggunaan pupuk kimia maupun insektisida tidak hanya mengancam keberlanjutan lahan. Tapi lebih jauh, beras yang dihasilkan memiliki dampak buruk terhadap kesehatan yang mengkonsumsinya.
Tentu, kita tidak menginginkan hanya dengan produksi beras yang besar, tanpa memikirkan kesehatan atas beras tersebut. Kualitas beras harus dipertimbangkan dalam menjaga ketersediaan beras nasional maupun sawasembada beras. Karena kualitas beras nasional akan menentukan keberlanjutan impor kepada negara-negara konsumen.
*
Penulis adalah Ketua Program Studi Akuntansi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia