SOROTAN yang terjadi atas dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian ESDM terus bergulir. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil Pelaksana Harian (Plh) Dirjen Minerba, Muhammad Idris Froyoto Sihite terkait temuan uang sebesar Rp 1,3 miliar di Apartemen Pakubuwono. Namun yang bersangkutan mangkir dan akan dipanggil ulang.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan perkara dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara mencapai puluhan miliar rupiah ini menggunakan modus salah ketik nominal nilai tukin. Ada kelebihan uang dari tukin yang kemudian dibagi oleh 10 tersangka.
Asep mengurai, tersangka diduga dengan sengaja melakukan “salah ketik†saat menginput tukin pegawai. Misal besaran tukin sebenarnya Rp 5 juta, tapi kemudian diketik Rp 50 juta. Jika di kemudian hari ketahuan, maka mereka akan beralasan “salah ketik". Padahal uangnya sudah keburu masuk Rp 50 juta.
KPK menyebut bahwa, uang korupsi itu digunakan untuk pembelian aset, untuk "operasional", termasuk adanya dugaan dalam rangka untuk pemenuhan proses-proses pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pada awal pekan kemarin, KPK juga telah menggeledah kantor Ditjen Minerba. Termasuk menggeledah Apartemen Pakubuwono, Menteng, Jakarta Pusat usai memeriksa ruang kerja Plh Dirjen Minerba, M Idris Sihite. Ditemukan uang sebesar Rp 1,3 miliar dalam penggeledahan tersebut. Hingga akhirnya penggeledahan dilanjut ke kediaman Idris Sihite di Depok, Jawa Barat.
Anehnya, modus ini sudah berlangsung dari tahun anggaran 2020 hingga 2022, tapi seolah ada pembiaran. Seolah modus tukin fiktif tidak tampak dalam audit BPK. Begitu juga dengan Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM yang gagal melakukan pengawasan internal atas kasus ini.
Pintu Masuk Kasus BesarBerdasarkan penelusuran
Kantor Berita Politik RMOL.ID, modus pemotongan tukin dengan salah ketik nilai tunjangan ini merupakan hal kecil yang bisa menjadi pintu masuk kasus yang lebih besar. Utamanya, berkaitan dalam tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk urusan pertambangan di Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan,
RMOL.ID juga telah mengulas sederet permasalahan yang dimulai dari bawah, seperti dugaan kongkalikong antara perusahaan tambang dengan inspektur tambang di daerah.
Misalnya saja di Sumatera yang menjadi salah satu daerah penghasil tambang terbesar di Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, pelanggaran yang terjadi dan dilakukan oleh perusahaan tambang, berkaitan dengan sistem operasi tambang yang baik (
good mining practices) ataupun kerusakan lingkungan, terkesan dibiarkan.
Permasalahan ini terjadi secara berjenjang dan terakumulasi dalam kurun waktu tertentu, yang umumnya berlangsung di atas empat tahun. Hampir sama seperti perkara yang ditangani oleh KPK saat ini.
Belum lagi di daerah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi yang juga terus terungkap dalam sejumlah pemberitaan, yang disinyalir terjadi secara berjenjang melibatkan pusat, minimal diketahui oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM. Meskipun dalam beberapa kesempatan lembaga ini terkesan menutup mata atas perkara yang terjadi di daerah.
Di antara permasalahan umum yang terjadi di Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang berhasil dirangkum sepanjang 2019-2022 adalah:
1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Produksi FiktifDugaan permainan di sektor tambang yang dilakukan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM juga mencuat pada kasus jual-beli Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dicabut pada awal tahun 2022, yang sampai sekarang tidak ada kejelasannya atau mati atau telah berakhir izinnya.
IUP yang telah nonaktif karena tidak produktif, tidak membayar pajak, royalti ataupun dinonaktifkan karena sanksi, justru bisa kembali aktif dan beroperasi dengan dugaan melibatkan lembaga lain, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Izin pertambangan ini bernilai fantastis dan menjadi produk yang paling dicari seiring peningkatan harga jual batubara dan mineral, khususnya nikel di dunia internasional.
2. Transaksional Dokumen Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB)Sejak Covid-19 tahun 2021, sistem pengajuan RKAB telah diubah menggunakan sistem aplikasi E-RKAB. Perusahaan dan evaluator tidak perlu melakukan kontak, sehingga diharapkan dapat meminimalisir transaksional. Tapi dalam praktiknya, mekanisme ini rawan dan riskan penolakan. Evaluator dapat dengan mudah menolak tanpa memberi perusahaan pertambangan kesempatan untuk menyanggah. Modus ini juga didukung limit waktu dan gangguan jaringan yang selalu menjadi kendali. Alhasil, ancaman penolakan RKAB menjadi momok yang membuat perusahaan tidak dapat berproduksi. Sangat menakutkan, dan jika terjadi sesuatu hal yang berkaitan dengan hukum atau pidana, maka data E-RKAB tidak dapat dihapus sewaktu-waktu (RKAB 2022).
3. Transaksional Pengesahan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB)Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) ini wajib diajukan oleh perusahaan tambang setiap tahunnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, dokumen tersebut merupakan syarat utama penambangan, sekaligus menjadi kunci pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh Ditjen Minerba.
Seperti misalnya, di dalam dokumen itu terdapat rencana produksi, rencana jual beli batubara DMO atau ekspor, reklamasi, CSR, dan program pemberdayaan masyarakat, termasuk biaya penanganan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.
Dalam penelusuran, diketahui jual beli pengesahan RKAB bahkan modus memalsukan dokumen RKAB ini juga diduga terjadi di Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Seperti salah satu yang berhasil diungkap oleh
RMOLSumsel beberapa waktu lalu, di mana PT Putra Hulu Lematang (PT PHL) yang berada di Kabupaten Lahat, tiba-tiba mendapat surat pengesahan RKAB, yang ketika discan ternyata surat tersebut merupakan surat pengesahan RKAB perusahaan lain, yakni PT Sriwijaya Bara Priharum (PT SBP).
Padahal PT PHL sebelumnya mendapat sanksi dari Presiden Jokowi, sehingga IUP-nya tidak lagi aktif. Modus seperti ini diyakini melibatkan orang dalam lewat jalur khusus yang ada di Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Berkaitan dengan kasus PT PHL ini, tiga orang pegawai Ditjen Minerba inisial MD, DD, dan JD hanya mendapat sanksi mutasi, meskipun telah melakukan penyalahgunaan kewenangan yang ditaksir dapat merugikan negara hingga ratusan miliar.
Modus lain dalam pengesahan RKAB ini adalah produksi yang melampaui dokumen untuk mendapatkan keuntungan lebih. Meskipun perusahaan telah memenuhi kewajiban DMO, namun perusahaan diketahui melakukan penambangan secara masif, sehingga produksi berlebih dari yang dilaporkan dalam dokumen RKAB dan umumnya diketahui oleh Ditjen Minerba kendati tidak ada tindakan sama sekali terkait hal itu.
Dampaknya, produksi batubara secara masif ini menciptakan kerusakan lingkungan yang lebih besar di wilayah tambang. Sebab laporan awal terkait reklamasi, baik itu penanganan wilayah pasca tambang sampai pendanaan yang dilaporkan tidak akan mencukupi jumlah yang lebih besar pada realisasinya.
Memasuki sistem pelaporan RKAB secara digital lewat aplikasi eRKAB saat ini juga menghadapi permasalahan lain. Di antara yang utama adalah lewat sistem digital ini, perusahaan yang melanggar ataupun data pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang yang kemungkinan besar melibatkan oknum di Ditjen Minerba Kementerian ESDM itu juga dengan mudah dihilangkan.
4. Segelintir Oknum di Luar Minerba yang Dapat Menentukan Persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB)
Seolah ada dukungan pihak ketiga yang menjadi rekanan minerba upaya mengumpulkan cuan di balik produk undang-undang, yaitu dalil memaksimalkan sumber daya dan cadangan di dalam kode cadangan mineral Indonesia (KCMI).
Bahkan segelintir orang diberi mandat melebihi kewenangan menteri, yaitu mendapat pengesahan/tanda tangan secara pribadi melalui bendera CPI (Competent Person Indonesia). Tanda tangan orang yang memiliki CPI sendiri memiliki nilai hingga miliaran rupiah. Sementara tanda tangan mereka diwajibkan dalam proses pengesahan RKAB.
5. Transaksional Domestic Market Obligation (DMO)
Tidak terlepas dari harga batubara yang terus melambung tinggi itu, modus lain yang dilakukan oleh Ditjen Minerba adalah dengan melakukan bargaining sanksi pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO). DMO ini merupakan kewajiban bagi perusahaan tambang untuk memenuhi kebutuhan domestik, sebesar 25 persen.
Aturan ini tertuang di dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri 2021 yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 29 Desember 2020, yang masih berlaku sampai saat ini.
Harga batubara yang tinggi saat ini membuat perusahaan tambang lebih memilih menjual batubara itu secara ekspor daripada memenuhi produksi dalam negeri sehingga lebih memilih membayar sanksi yang telah dihitung secara kongkalikong, alias lebih murah dari seharusnya, sehingga perusahaan akan tetap mendapatkan untung meskipun telah membayar sanksi.
Untuk mendukung upaya mengelabui negara ini, proses kongkalikong diduga terjadi sejak awal pengajuan perencanaan pertambangan, lewat Feasibility Study (FS) dan dokumen Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB).
Modusnya, perusahaan melakukan penambangan tidak sesuai dengan dokumen tersebut sehingga tidak hanya mengurangi kewajiban mereka terhadap negara, tetapi cenderung mendapat untuk dengan melakukan penjualan di luar jalur resmi, yang artinya juga melakukan penambangan tanpa izin (illegal mining).
6. Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP)
Dalam proses menerapkan good mining practices, perusahaan tambang wajib memiliki tenaga ahli terkait auditor SMKP. Sayangnya, dalam beberapa waktu ke belakang, perusahaan-perusahaan ini dipersulit untuk mendapat sertifikasi tenaga ahli auditor, di mana monopoli sertifikasi auditor hanya melalui Tim K3 Ditjen Minerba bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Geologi, Mineral dan Batubara (PPSDM Geominerba).
Jelas praktik ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah 10/2018 tentang BNSP, yang merupakan pelaksanaan amanat UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) untuk mewujudkan tenaga kerja profesional yang memiliki keterampilan, keahlian, dan kompetensi perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia ketenagakerjaan yang berdaya saing dan memiliki standar global.
Modus pembatasan tenaga ahli bagi perusahaan tambang ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut terkena sanksi yang cukup fantastis. Sekali lagi, jalur khusus juga disiapkan bagi perusahaan yang ingin segera mendapat tenaga ahli tersebut.
7. Transaksional Dokumen Reklamasi dan Pascatambang
Sampai saat ini ratusan bahkan ribuan dokumen perusahaan tambang di Indonesia terhambat pengesahannya, hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut terlambat menempatkan jaminan Rencana Reklamasi (RR) dan Reklamasi Pasca Tambang (RPT), sehingga mereka mendapat sanksi. Di sisi lain, berkaitan dengan pengesahan ini, disinyalir terdapat jalur khusus bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki cuan lebih, sehingga praktik percaloan pengurusan izin ini menjadi potensi yang menggiurkan bagi pegawai Ditjen Minerba.