Berita

Managing Director PEPS, Anthony Budiawan/Net

Publika

Bank Dunia Jangan Lagi Intervensi Proses Hukum Indonesia, Cukup Sekali

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
MINGGU, 12 MARET 2023 | 21:32 WIB

SRI MULYANI sempat dua kali diperiksa KPK terkait kasus dugaan penyimpangan pengucuran dana talangan (bailout) Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, masing-masing pada 29 April 2010 dan 4 Mei 2010.

Ketika itu, Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan sekaligus juga Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK).

Satu hari setelah diperiksa KPK, Sri Mulyani menyampaikan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI pada 5 Mei 2010, dengan alasan mendapat tawaran dari Bank Dunia sebagai direktur pelaksana Bank Dunia.

Proses penunjukan Sri Mulyani sangat aneh dan tidak lazim. Sri Mulyani mengaku tidak pernah melamar ke Bank Dunia untuk posisi apapun.

Tetapi, tidak ada angin dan tidak ada hujan, Bank Dunia mengumumkan penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, melalui siaran pers yang dipublikasi Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat, pada 4 Mei 2010 atau 5 Mei 2010 waktu Jakarta, satu hari setelah diperiksa KPK untuk kedua kalinya.

Penunjukan Bank Dunia ini sangat melecehkan rakyat Indonesia, karena Bank Dunia secara sepihak menunjuk, artinya “membajak”, Menteri Keuangan yang masih aktif, dari sebuah negara berkembang anggota Bank Dunia. Yang sedang menghadapi proses hukum di KPK, sebagai direktur pelaksana yang akan berkantor di Amerika Serikat. Terlepas apakah yang bersangkutan, atau Presiden RI, memberi persetujuan atau tidak.

Penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia ini patut diduga keras bersifat politis, dan sekaligus telah melakukan intervensi hukum Indonesia.

Alasan penunjukan Sri Mulyani karena berprestasi justru lebih melecehkan rakyat Indonesia. Kalau Sri Mulyani memang berprestasi, seharusnya Bank Dunia membiarkan Sri Mulyani menyelesaikan tugasnya sebagai Menteri Keuangan sebaik-baiknya. Bukan malah membajak.

Karena salah satu tujuan Bank Dunia adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh dunia, khususnya negara-negara berkembang.

Sepengetahuan saya, mohon Bank Dunia berkenan memberi klarifikasi, Bank Dunia selama ini tidak pernah menawari atau mempekerjakan Menteri Keuangan yang masih aktif: Bank Dunia tidak pernah membajak Menteri Keuangan dari negara lain. Kasus penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia merupakan kejadian satu-satunya.

Bank Dunia bahkan harus menolak seandainya Sri Mulyani mengajukan lamaran untuk bekerja di Bank Dunia, sampai permasalahan hukum yang bersangkutan selesai.

Hal ini menunjukkan Bank Dunia tidak profesional, dan rakyat Indonesia mempertanyakan standar etika dan moral pimpinan Bank Dunia ketika itu, Robert Zoellick: bagaimana Bank Dunia bisa menunjuk seorang Direktur Pelaksana yang sedang diperiksa lembaga anti korupsi, KPK?

Sri Mulyani ketika itu merupakan ketua KKSK yang mempunyai kekuasaan memberikan dana talangan kepada Bank Century. Kepergiannya meninggalkan Indonesia akan membuat sulit pemeriksaan selanjutnya, dan ini akhirnya terbukti.

Hal ini menguatkan dugaan bahwa penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia bersifat politis dan sekaligus melakukan intervensi terhadap proses hukum di Indonesia.

Saat ini, Sri Mulyani sedang menghadapi mega skandal korupsi kolektif di Kementerian Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

Nilainya sangat luar biasa besarnya. Menurut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), ada indikasi pencucian uang hingga mencapai Rp 300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan.

Untuk itu, rakyat Indonesia menuntut keras kepada Bank Dunia dan institusi internasional lainnya untuk tidak lagi melakukan intervensi proses hukum di Indonesia, seperti yang sudah terjadi sebelumnya pada 2010.

Rakyat menuntut proses hukum mega skandal korupsi kolektif di Kementerian Keuangan wajib diusut tuntas. Mega skandal korupsi kolektif ini berdampak sangat buruk bagi rakyat Indonesia, membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun, membuat utang pemerintah naik drastis, membuat pemerintah tidak berdaya memberantas kemiskinan.

*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies

Populer

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Ketua Alumni Akpol 91 Lepas Purna Bhakti 13 Anggota

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:52

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Kantongi Sertifikasi NBTC, Poco F6 Segera Diluncurkan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 08:24

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Jaksa KPK Ungkap Keterlibatan Orang Tua Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor dalam Kasus Gazalba Saleh

Senin, 06 Mei 2024 | 13:05

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

Jokowi Keluhkan Peredaran Uang yang Semakin Kering, Ekonom: Akibat Utang yang Ugal-ugalan

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:05

Butuh 35.242 Dukungan bagi Calon Perseorangan Maju di Pilwalkot Cimahi

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:01

Kemendag Amankan Satu Kapal Tanpa Kelengkapan Dokumen Impor di Palembang

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:58

Mardani Dukung Sikap Oposisi Ganjar: Itu Ksatria!

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:55

Google Pixel 8A Resmi Dirilis, Dibanderol Mulai Rp8 Jutaan

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:44

Wakapolda Aceh Armia Fahmi Daftar Bacalon Bupati Atam Lewat Nasdem

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:39

Pakar: Sosok Menkeu yang Baru Baiknya Berlatar Belakang Teknokrat Dibandingkan Politisi

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:33

Satgas Catur Bais TNI Berhasil Gagalkan Penyelundupan Pakaian Bekas di Sebatik

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:32

Militer Taiwan Bersiap Hadapi Ancaman China Jelang Pelantikan Presiden

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:31

BTN Relokasi Kantor Cirebon

Rabu, 08 Mei 2024 | 16:09

Selengkapnya