PEMERINTAHAN Jokowi mengundang investor asing untuk berlomba membangun pabrik mobil listrik di Indonesia. Pemerintah berharap itu akan membuka lapangan kerja sekaligus memicu alih teknologi.
Kelak, begitulah pemerintah dan sebagian ekonom berharap, industri lokal bisa meniru membangun pabrik mobil listrik sendiri. Ini juga diharapkan bisa mempercepat proses industrialisasi serta penguasaan teknologi secara luas.
Apakah strategi industrialisasi seperti ini akan berhasil?
Saya meragukannya.
Strategi industrialisasi seperti itu sebenarnya sudah dilakukan Pemerintahan Soeharto sejak setengah abad lalu.
Pada 1970-an, mengabaikan protes besar, Soeharto membuka luas investasi asing, khususnya industri otomotif Jepang dan Amerika.
Setengah abad kemudian saat ini, apakah kita punya industri otomotif lokal sendiri?
Apakah itu membuka peluang penguasaan teknologi oleh anak negeri?
Apakah membuat kita sebagai bangsa semakin pintar dan inovatif dalam mengembangkan industrialisasi lebih luas?
Sebagian besar jawabannya, menurut saya, adalah tidak.
Alih-alih mandiri, kita justru makin tergantung pada industri dan teknologi asing.
Dengan jumlah penduduknya yang besar, Indonesia terbenam makin jauh menjadi sekadar pasar empuk industri otomotif asing tadi.
Kita menjadi bangsa yang haus mobil dan motor bahkan lebih dari orang Jepang sendiri. Perusahaan otomotif lokal hanya tertarik menjadi
re-seller atau kepanjangan pemasaran saja.
Dalam hal lapangan kerja, industri besar termasuk otomotif hanya kecil saja serapannya. Seluruh industri skala besar di Indonesia, yang umumnya dibentuk dari investasi asing, hanya menyerap sekitar 3% pencari kerja.
Di lain pihak, industri otomotif asing di Indonesia tidak mampu atau mau membangun
linkage serta kaitan
supply chain luas dengan industri kecil dan menengah sebagai pemasok komponen. Sehingga perannya dalam memicu industrialisasi luas tak terjadi.
Perusahaan otomotif seperti Toyota dan Mitsubishi datang ke sini dengan paten teknologi dan lisensi.
Hal terjauh yang bisa dilakukan oleh pabrik lokal di Indonesia adalah memproduksi mobil dengan membayar lisensi tadi. Belum lama ini, Toyota dan Mitsubishi menuntut pabrik lokal di Myanmar yang tidak membayar lisensi mereka.
Alih teknologi adalah janji palsu dari investasi asing.
Melihat itu semua, kita bisa menyimpulkan bahwa manfaat investasi asing dalam mengembangkan industrialisasi sebenarnya sangat kecil bahkan jika ada.
Apa sebenarnya yang salah dari strategi industrialisasi dengan mengandalkan investasi asing, baik di masa lalu (Soeharto) maupun sekarang (Jokowi)?
Membangun industrialisasi lewat investasi asing cenderung bersifat
top-down dan mengandalkan jalan pintas. Nampak mentereng dari luar, tapi palsu dan keropos fondasinya.
Tidak ada jalan pintas menuju industri manifaktur seperti otomotif. Kita bisa belajar dari industrialiasi Jepang tanpa menjadikan mereka investor.
Kita mungkin sering membayangkan bahwa raksasa otomotif seperti Toyota adalah pabrik besar yang tunggal dan sendirian.
Keliru. Pada kenyataannya, Toyota sebenarnya hanya sebuah pabrik perakit raksasa yang komponennya dipasok oleh puluhan ribu industri kecil dan menengah.
Toyota adalah orkestra besar yang melibatkan banyak industri kecil/menengah di kota-kota kecil maupun pedesaan Jepang.
Dari pengalaman panjang dan standarisasi luas, industri rumahan di Jepang tak hanya bisa memasok komponen mobil, tapi bahkan juga memasok komponen roket atau robotik
high-tech.
Industri kecil dan menengah lah motor penggerak sebenarnya ekonomi dan industrialisasi Jepang.
Tak ada jalan pintas. Membangun industrialisasi harus dimulai dari industri kecil bahkan di pedesaan. Artinya kita harus membangun fondasi ekonomi dari desa.
Dalam konteks ini, saya teringat pemikiran proklamator Bung Hatta tentang pentingnya membangun desa.
Menurut Bung Hatta, kita bisa memulai membangun desa dari apa yang kita punya, sektor pertanian dan kelautan.
Ketika petani dan nelayan makin sekahtera, menurut Bung Hatta, mereka akan membutuhkan alat dan teknologi, termasuk teknologi pengolahan hasil pertanian/kelautan bagi kebutuhan pangan, obat, sandang dan papan (bahan bangunan).
Dari situlah sektor manufaktur tumbuh di atas fondasi sektor pertanian/kelautan yang kokoh. Muncul pande besi, misalnya, atau pembuat alat pertanian dan pengolahannya, yang secara perlahan membangun pengetahuan dan ketrampilan kuat menuju industrialisasi.
Itu mungkin perlu waktu lama dan kita sudah terlambat setidaknya 50 tahun dari Korea Selatan, misalnya, yang kini dikenal sebagai negara industri baru.
Tapi, menurut saya, meski terlambat, itu tetap harus dan bisa dilakukan. Dengan kecepatan pertukaran informasi serta pengetahuan, kita bisa memperpendek proses.
Kuncinya adalah membangun desa dan dimulai dengan membangun fondasi kuat dari sektor primer seperti pertanian dan kelautan.
Tidak ada jalan pintas menuju industrialisasi.
Tim Ekspedisi Indonesia Baru