PERBINCANGAN tentang ongkos ibadah haji sebetulnya sudah dimulai akhir tahun 2022. Beberapa wakil rakyat dari beberapa faksi sudah mengungkap itu. Biaya perjalanan, akomodasi, dan kesehatan dan lain-lain sudah meningkat tajam dari segi pembiyaan.
Yang menjadi perhatian para wakil rakyat kita adalah bahwa pemerintah masih memberi subsidi lebih dari lima puluh persen dari semua biaya. Memang tanggungan pemerintah untuk dana haji cukup besar. Ini menjadi perhatian.
Kementerian Agama RI belum merespons isu itu, dan ada jeda akhir tahun dan tahun baru dengan berbagai perhatian. Ada jarak antara keprihatinan yang diangkat dengan tanggapan yang akan datang.
Terakhir Penulis mendengar sendiri salah satu anggota DPR menyingung tentang subsidi pemerintah itu dalam salah satu acara di Kementrian Agama pada akhir tahun 2022. Ini memang serius, dan zaman sudah berubah, ekonomi lokal, nasional, dan global berubah, tampaknya perlu ada wacana baru tentang ongkos haji.
Pada awal tahun 2023 Kementrian Agama mewacanakan itu di publik. Reaksi mulai bermunculan, terutama yang mempertanyakan. Ongkos haji menjadi arena perdebatan publik.
Tentu lebih banyak yang tidak setuju. Semua kenaikan harga pasti tidak menyenangkan konsumen: tidak hanya soal ongkos haji, tetapi jua BBM, beras, tol, kendaraan, dan semua yang berubah harga pasti mendapatkan respons negatif. Konsumen tentu menyukai harga tetap terjangkau. Perubahan menimbulkan perdebatan dan ketidaksetujuan akan lebih besar.
Memang, haji tidak semata-mata ibadah. Tetapi menyangkut banyak hal, yaitu sosial, politik, dan ekonomi. Perbincangan tentang ongkos haji terakhir awal tahun 2023 tidak semata-mata ibadah. Juga tidak semata-mata ekonomi. Tetapi haji sudah menyangkut sosial dan politik dan itu sebetulnya bukan barang baru.
Haji menyangkut persoalan yang luas. Dari zaman Belanda hingga reformasi, haji bukan persoalan semata-mata kemampuan ekonomi dari Muslim yang akan melaksanakan ibadah. Haji adalah ibadah kompleks.
Secara ekonomi, dalam fiqh disebut sebagai kemampuan (istita’ah). Berhaji jika mampu yang dimaksud adalah ekonomi. Banyak kitab fiqh klasik dan modern lebih menekankan faktor ekonomi, yakni biaya perjalanan, akomodasi, dan administrasi.
Kebetulan di Indonesia pemerintah mengambil peran banyak. Subsidi pemerintah yang telah disinggung akhir tahun 2022 jelas mengarah pada persoalan politik, administrasi, dan wacana publik.
Ekonomi Indonesia memang sudah bergeser, baik secara lokal atau posisi dalam skala ekonomi global. Kemampuan daya beli masyarakat juga sudah tidak seperti lima puluh tahun yang lalu. Di era haji dengan kapal laut, era setelah kemerdekaan dan awal Orde Baru, subsidi pemerintah jelas tidak seperti saat ini.
Pergi haji dari segi waktu saja cukup lama. Berminggu-minggu dalam perjalanan menuju tanah suci dengan kapal laut. Bahkan di abad 19 dan 20 awal, pergi haji bisa mencapai 6 bulan. Jauh sebelum era itu pergi haji juga merupakan perjalanan muqim, atau tinggal di tanah suci sembari mengaji di masjid dua kota suci Makkah atau Madinah.
Para tokoh penggerak jaringan ulama Nusantara, menurut penelitian para ahli, mempunyai simpul di perjalanan haji. Haji menjadi administrasi pemerintah kolonial Belanda sebagai alat komunikasi dan kontrol. Orang yang telah melaksanakan haji berperan jauh lebih besar di masyarakat, menjadi tokoh dan mempunyai jaringan luas. Haji berarti juga tangga sosial, politik, dan juga ekonomi. Tetapi itu dulu.
Saat ini haji jauh lebih sederhana. Ongkos naik haji yang terjangkau karena kemampuan masyarakat yang sudah berubah, membuat antrian panjang sekali, bahkan sampai 20 atau 30 tahun jika diikuti. Sejak tahun 2017 BPKH (Badan Pengelola Keungan Haji) juga berperan dalam pengelolaan ongkos dan biaya. Malaysia, Turki, dan negara-negara yang mempunyai jumlah Muslim besar tidak seperti Indonesia dalam hal manajemen ibadah haji. Indonesia memberi fasilitas dan membantu ibadah haji secara finansial.
Tahun lalu Kementrian Agama banyak menghasilkan terobosan-terobosan pasca Covid-19. Relasi diplomatik antara Indonesia dan Saudi ditingkatkan, pertemuan Yaqut Cholil Qoumas dan Tawfiq F al-Rabiah, Menteri Agama RI dan Haji dan Umrah Saudi terjadi tahun 2022. Tambahan kuota juga dikabulkan. Dari segi menejemen pasca musibah, tampaknya kita patut bersyukur.
Kembali pada diskusi ongkos naik haji, perlu sikap obyektif. Beban-beban diluar obyektifitas seperti politik, sosial, dan wacana publik menjelang tahun penting 2024 perlu didinginkan. Jika intensinya adalah taget viral media sosial, maka kita tidak akan mengenai tujuan. Jika tujuannya adalah obyektifitas, rasionalitas, dan melayani umat secara profesional, pasti jalan akan terhampar.
Para wakil rakyat sudah memulai kesadaran ini, Kementrian Agama RI akan mengusulkan perubahan, dan akan kembali lagi pada musyawarah dengan badan legislatif lagi, apakah usulan dimufakati atau tidak.
Kita berdoa agar pembahasan dan saling memberi masukan dengan kepala dingin, hati lapang, dada luas, dan senyuman di bibir. Haji adalah ibadah, usaha pemerintah, wakil rakyat, Kementrian dan laku para jamaah adalah juga ibadah. Sama-sama beribadah.
*Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta