Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo/Net
PERPPU Cipta Kerja makin kontroversi. Penolakan pun bermunculan dari berbagai kalangan. Kekhawatiran menyelimuti para buruh. Tapi sepertinya pemerintah tidak bergeming. DPR yang seharusnya menyuarakan apa yang menjadi aspirasi rakyat sepertinya tidak mau ambil peranan sebagai mestinya.
Hal ini memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang memaksa pemerintah ngotot meloloskan konten dari Perppu sebagai peralihan dari UU Cipta Kerja yang dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi diakali untuk tidak dipenuhi dengan trik penerbitan Perppu Cipta Kerja ini adalah sebuah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Peranan dan marwah Mahkamah Konstitusi menjadi rendah. Hal ini menjadi preseden buruk terhadap upaya-upaya menegakkan konstitusi dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Alasan-alasan yang seolah logis digunakan untuk melegitimasi pemberlakuan Perppu ini yang justru inkonsisten dengan narasi-narasi pencapaian yang pernah diglorifikasi seperti pertumbuhan ekonomi dan surplus neraca perdagangan.
Pertanyaan publik pun semakin besar tentang "Siapa yang sangat berkepentingan dibelakang pemaksaan pemberlakuan Perppu Cipta Kerja ini?" sehingga presiden rela menempuh jalan walaupun dengan mengangkangi konstitusi.
Muatan Perppu Cipta Kerja yang lebih berorientasi kepada kepentingan Investor daripada kepentingan kalangan buruh sudah dapat disimpulkan bahwa
invisible hand di balik Perppu ini sangat diduga kuat adalah para oligarki yang telah memberikan kontribusi kepada pemerintah sehingga pemerintah mempunyai utang politik yang harus dipenuhi sebagai timbal balik.
Bagaimana publik berasumsi ekstrim seperti ini karena melihat berbagai kebijakan yang banyak berorientasi kepada kalangan atas. Seperti kebijakan menurunkan harga BBM hanya untuk BBM nonsubsidi yang sebagian besar dikonsumsi oleh kalangan atas sementara BBM bersubsidi yang telah dinaikkan dan menyebabkan inflasi tidak disentuh untuk diturunkan, padahal jika dilakukan akan mempercepat pemulihan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat kebanyakan.
Kebijakan-kebijakan yang terkesan hanya menyervis kalangan atas ini tentu saja dirasakan sebagai bentuk ketidakadilan di mata publik.
DPR seharusnya ambil peranan sebagai perwakilan suara rakyat, harus diakui DPR lebih banyak diamnya daripada melaksanakan tugas dan fungsinya menyampaikan aspirasi rakyat.
MPR juga semestinya mengambil peranan diantaranya melalui: menyelenggarakan rapat konsultasi bersama DPR dan DPD tentang apakah ada potensi pemerintah melanggar konstitusi terkair penerbitan Perppu Cipta Tenaga Kerja. Setelah itu bila dalam rapat konsultasi ada pimpinan lembaga tinggi yang berbeda pendapat maka MPR bisa berinisiatif menyelenggarakan Sidang Istimewa.
Jika peranan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara ini tidak diperankan sebagaimana mestinya maka publik akan menganggap bahwa pemerintah dan DPR setali tiga uang melakukan pelanggaran konstitusi.
Hal ini tentunya akan memicu reaksi keras dari masyarakat yang akan melahirkan soscial unrest yang dapat membahayakan ekonomi. Ayo DPR, DPD dan MPR jalankanlah amanah!
Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute