Keputusan Taliban melarang kaum perempuan bekerja terutama di organisasi bantuan, memicu berbagai kecaman. Kali ini kecaman itu datang dari para menteri luar negeri kelompok G7.
Melalui pernyataan pada Kamis (29/12), kelompok yang terdiri dari Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Kanada, Inggris, dan AS menyatakan keprihatinan dan menyebut keputusan Taliban sebagai perintah sembrono dan berbahaya.
"Kami meminta Taliban untuk segera membatalkan keputusan ini," kata pernyataan G7, seperti dikutip dari AFP.
"Perempuan benar-benar penting dalam operasi kemanusiaan dan kebutuhan dasar," lanjutnya.
“Kecuali mereka berpartisipasi dalam pengiriman bantuan di Afghanistan, LSM tidak akan dapat menjangkau orang-orang yang paling rentan di negara itu untuk menyediakan makanan, obat-obatan, musim dingin, dan bahan serta layanan lain yang mereka butuhkan untuk hidup," lanjut pernyataan itu.
G7 menambahkan bahwa langkah Taliban juga akan mempengaruhi bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh organisasi internasional, karena organisasi internasional menggunakan LSM untuk mengirimkan materi dan layanan tersebut.
Enam belas bulan setelah menguasai Afghanistan , Taliban tidak menindaklanjuti janjinya untuk melindungi hak-hak perempuan. Mereka mulai melarang perempuan menghadiri universitas dan melarang bekerja di sektor bantuan.
Langkah tersebut memicu kemarahan dan protes global di beberapa kota Afghanistan.
Australia, Denmark, Norwegia, Swiss dan Belanda sudah lebih dahulu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak penguasa Afghanistan untuk segera membalikkan kebijakan tentang pekerja bantuan perempuan.
Atas keputusan Taliban, enam organisasi bantuan internasional bahkan telah menangguhkan operasinya di Afghanistan. Mereka termasuk Christian Aid, ActionAid, Save the Children, Dewan Pengungsi Norwegia dan CARE.
Ray Hasan, kepala program global di Christian Aid, mengatakan jutaan warga Afghanistan berada di ambang kelaparan.
Dia mengatakan larangan pekerja bantuan perempuan hanya akan membatasi kemampuan kami untuk membantu semakin banyak orang yang membutuhkan.
"Laporan bahwa keluarga sangat putus asa sehingga mereka terpaksa menjual anak-anak mereka untuk membeli makanan benar-benar memilukan," ujarnya.